Sudah berhari-hari semenjak hari itu, kini Aiyla sudah sedikit demi sedikit memulai untuk menyesuaikan diri di antara kebiasaan orang-orang Indonesia. Yang Aiyla senangi adalah pembagian antara siang dan malam cukup sepadan di Indonesia. Berbeda ketika di Turki yang terkadang pada musim-musim tertentu harinya lebih panjang daripada malam.
Akan tetapi, lidah Aiyla masih belum bisa bersahabat dengan aneka ragam masakan yang sebenarnya lezat dan lebih kaya akan rasa, berbagai rempah-rempah khas yang jarang Aiyla temui di Ankara tentu saja membuatnya selalu merasa ingin mencoba lebih banyak lagi. Namun, tetap saja Aiyla masih merasa agak aneh setiap kali makan. Terlebih, saat sarapan nyaris semua tempat makan; entah itu pedagang kaki lima yang berjualan beberapa meter dari gedung apartemen, kafetaria kantor dan rumah makan sekalipun, semuanya hanya menawarkan hidangan utama berupa berbagai macam olahan nasi.
Alhasil, Aiyla pun hanya mengandalkan teh dan roti buatannya sendiri dengan menambah olesan madu sebagai menu sarapannya sehari-hari karena tidak begitu suka. Berbeda dengan rekan sejawatnya saat ini yang pernah mengatakan jika dirinya merasa belum makan ketika tidak menyantap nasi atau menggantinya dengan menu lain seperti roti.
Kendati seperti itu, sebagai orang berkebangsaan Turki yang terbiasa sarapan sempurna memakai menu yang beragam hingga memenuhi meja makan dengan roti sebagai makanan utamanya, Aiyla tentu merindukan olahan telur dan sosis, buah zaitun, dan juga beberapa potong mentega manis yang selalu Ozan bawakan dari rumahnya sebelum jam kuliah dimulai. Mengingat saat di Ankara Aiyla tidak begitu mampu untuk sarapan secara penuh, hingga dalam beberapa kesempatan hanya bisa mengandalkan teh saja jika berada di akhir bulan.
Aiyla mengempaskan tubuh ke atas sofa setelah sempat menyampirkan blazer pada punggung sofa tunggal tak jauh dari posisinya, menyisakan celana putih panjang dan juga blus hijau army-nya. Sejenak mata itu menatap ke arah plafon, sebelum akhinya terpejam hanya untuk membuat penglihatannya lebih nyaman di saat matanya begitu terasa pegal.
Gani telah menipunya, seharusnya Aiyla tahu sejak awal. Dirinya tidak benar-benar sedang menjalani masa pelatihan atau percobaan pada posisi barunya, melainkan memang "sudah benar-benar" dijadikan sebagai seorang manajer umum di bawah naungan Dzikri sebagai CEO perusahaan dan Gani selaku presiden direkturnya. Beban di pundak mahasiswi tingkat akhir itu begitu berat ketika dinyatakan mengampu jabatan penting tersebut. Terlebih lagi mengejutkan secara fisik dan mental karena harus menyelami masalah besar perusahaan setelah ditemukannya ketidakselarasan pada laporan keuangan selama tiga tahun terakhir dikarenakan mantan CEO sebelum Dzikri melakukan tindak korupsi dibantu oleh beberapa pekerja lain, belum lagi adanya kontrak-kontrak tak jelas yang tentu saja mengundang kerugian lebih dari besar pada perusahaan. Hal itu membuat Aiyla, Dzikri dan orang-orang dalam bidangnya perlu bekerja keras untuk membenahi semua hal agar tidak lagi terjadi penyelewengan yang serupa.
Benar, jangankan orang lain, Aiyla sendiri bahkan masih belum bisa menyangkanya. Seolah baru saja memenangkan lotre seharga triliunan, Aiyla yang notabene merupakan mahasiswi tingkat akhir bukan pada bidangnya dan seorang pelayan kafe, baru saja bekerja di perusahaan selama satu bulan sebagai karyawan rendah, tiba-tiba saja dijatuhi beban jabatan manajer umum di pundaknya. Itu seperti berkah sekaligus musibah di waktu bersamaan baginya. Semua itu serasa begitu mudah ia dapatkan tanpa adanya perjuangan yang benar-benar ia jalankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNWORTHY [TAMAT]
Romantizm[Seri 2 | Nuraga / Book2*] "Kita pergi sekarang!" pekik lelaki itu. Aiyla mengangguk tanpa ragu. Ia rasa, bersama lelaki ini akan jauh lebih aman daripada bersama keluarganya sendiri. - Harap yang tercipta akibat diselamatkan dan juga diberi kehidu...