45 - Kelemahan

499 41 20
                                        

Tak ada niatan untuk memaksa Daffa agar kuat menghadapi masalahnya, karena nyatanya Kayla yang sudah begitu dekat dengan Aiyla kini mulai merasa takut kehilangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak ada niatan untuk memaksa Daffa agar kuat menghadapi masalahnya, karena nyatanya Kayla yang sudah begitu dekat dengan Aiyla kini mulai merasa takut kehilangannya. Itu pasti lebih berat dilalui oleh Daffa dibandingkan dirinya, abangnya yang harus menyaksikan secara langsung bagaimana Aiyla terluka di dalam pesawat yang menjadi tanggung jawabnya.

Sejak tadi Kayla mengawasi Daffa yang masih bertahan menunggu proses operasi meski waktu sudah berlalu berjam-jam lamanya. Ada rasa perih ketika melihat sosok yang selalu menguatkan semua orang kini justru terlihat sangat rapuh. Seolah baru kehilangan separuh nyawa dalam waktu sekejap. Namun, dengan begitu Kayla bisa menyimpulkan bahwa Aiyla memiliki peran penting dalam kehidupan abangnya. Begitu pula sebaliknya.

"Kenapa nangis, Kay?" tanya Tatjana yang duduk di sebelahnya.

Kayla menoleh singkat kemudian kembali meluruskan pandangan ke depan. "Bang Daffa kelihatan sedih,"

"Pasti. Selama ini mas Daffa selalu berhasil mengudara tanpa pernah terjadi hal seperti ini. Mas Daffa pasti sedih karena penumpangnya—"

"Maksud kamu?" sela Kayla menatap lawan bicaranya heran. "Aku rasa, abang bukan sedih karena sebatas tanggung jawabnya untuk menjaga para penumpang kini nggak berhasil. Tapi ... karena hal lain."

Tatjana mengedikkan bahunya. "Kenapa, ya, Kay, mas Daffa sampai segitunya? Maksudnya, ya, aku paham keadaan Aiyla benar-benar serius. Tapi, kan, ini ulah orang lain bukan ulah mas Daffa. Aku rasa mas Daffa selalu berlebihan,"

"Kamu ingat kejadian sesak napas kemarin? Padahal itu hal wajar, tapi mas Daffa khawatirnya seperti Aiyla akan tiada saja."

"Jana," Kayla menarik napasnya kuat-kuat sebelum membuangnya kasar. Berusaha sabar menghadapi sifat asli perempuan yang akan menjadi kakak iparnya itu. "Kak Aiyla lagi di ambang hidup dan mati, nggak seharusnya kamu bilang begitu. Lagi pula, kejadian kemarin nggak bisa disamakan sama kejadian ini. Bang Daffa pasti terpukul. Sebentar lagi kamu mau jadi istrinya, masa hal-hal kayak gini kamu nggak bisa paham?"

"Kok, kamu jadi marah?" tanya Tatjana tak terima. "Aku bicara kenyataan, kamu yang terlalu—"

"Selama aku dekat sama kak Aiyla, nggak pernah sekalipun aku dengar dia bicara hal buruk tentang kamu, Jan. Tapi kamu, di saat keadaan dia kritis kayak gini aja masih sempat-sempatnya kamu jelek-jelekin dia."

Setelah mengatakan itu, Kayla lebih memilih untuk menghampiri Daffa alih-alih terus berdebat atau mendengarkan celotehan buruk Tatjana. "Bang."

Daffa menoleh singkat, saat itu juga Kayla bisa melihat genangan air mata di pelupuk mata abangnya. "Tadi teman Abang datang bawa barang-barang punya bang Daffa, atasannya kak Aiyla juga ada di sini."

Mendapati Daffa yang tak menggubris ucapannya membuat Kayla menarik salah satu lengannya, membuatnya merangkul bahu Kayla. Saat itu pula Kayla memeluk tubuh yang masih berbalut seragam itu dari samping. "Nggak mau ganti pakaian dulu gitu, Bang?"

UNWORTHY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang