52 - Membulatkan Niat?

472 35 18
                                    

Hiiiiiii balik lagi. Jangan lupa ramein yaa

Siang menjelang sore di hari Minggu, dengan setelan semi formalnya Daffa bertandang ke apartemen sohibnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang menjelang sore di hari Minggu, dengan setelan semi formalnya Daffa bertandang ke apartemen sohibnya. Waist bag bermotif army menemani penampilannya seperti biasa. Sementara di salah satu tangannya tergenggam beberapa sampel undangan.

Sudah dua kali bel ditekan, tetapi belum ada yang membukakan pintu. Daffa sempat mengerutkan dahinya bingung, akan tetapi ia kembali mencoba untuk menekan bel sekali lagi.

Hingga tak lama kemudian, sosok Mia yang tak lain adalah ibunya Adnan dan Tatjana keluar. Tersenyum hangat kepadanya meski Daffa masih bisa melihat ada banyak kekhawatiran di kedua netranya. Sebisa mungkin Daffa tersenyum. "Asalamualaikum, Bu."

"Wa'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh," jawab Mia seraya membenarkan kerudung panjangnya. Pandangannya terjatuh pada benda di tangan lelaki berbadan tegap tersebut, seketika membuatnya paham. "Jana ada di dalam. Silakan masuk, Nak."

"Baik, Bu. Terima kasih." Daffa mengangguk segan. Namun, tak urung tungkainya tetap melangkah mengikuti langkah Mia.

"Biar Ibu buatkan minum dulu." Tanpa menunggu persetujuan, Mia langsung saja pergi ke dapur.

Salah satu sudut bibir lelaki itu terangkat tipis ketika matanya mengitari seisi ruang tamu di unit apartemen tersebut, semua ditata dengan gaya khas Adnan yang tidak semua orang tahu. Seketika hatinya kembali merasakan kehilangan mengingat sosok itu.

Membuang napas cukup panjang, Daffa pun menaruh sampel undangan tadi di atas meja sebelum mulai menjatuhkan bokongnya di atas sofa empuk berwarna merah.

Matanya tanpa sengaja menemukan sebuah bingkai kecil di atas nakas, berisi foto masa remaja Tatjana dan Adnan. Iseng, Daffa mulai mengambilnya seraya terkekeh. Sebenarnya sedari dulu pun Daffa sudah pernah melihat foto tersebut, hanya saja kekehan tak bisa dihindari ketika mengingat bagaimana dulu dirinya acap kali harus memisahkan kakak-adik itu ketika beradu mulut.

"Nan. Tidak disangka, ya. Sekarang saya akan segera menikahi adik kamu," gumamnya seraya tersenyum sangat tipis. "Padahal dulu kami tidak berhubungan sedekat itu sampai terpikirkan untuk memiliki hubungan seserius itu."

Daffa kembali meletakkan bingkai tersebut di tempat semula saat menyadari kehadiran Mia. "Ah, Ibu. Jadi merepotkan begini."

"Tidak apa-apa," jawab Mia seraya menaruh segelas minuman dingin. "Barusan Ibu cek ke kamar, ternyata Jana sedang mandi. Tidak apa-apa, kan, kalau kamu menunggu sebentar lagi?"

Daffa mengangguk. "Tidak masalah, Bu."

"Oh ya, bagaimana keadaan teman kamu Aiyla?"

Air muka Daffa kontan berubah sendu ketika mendengar nama Aiyla disebut-sebut oleh wanita yang akan menjadi ibu mertuanya itu. Kendati seperti itu, Daffa tetap berusaha tersenyum. "Kesehatannya masih belum begitu pulih, mungkin perlu waktu setelah operasi yang cukup besar itu. Dan untuk pelakunya, alhamdulillah sudah berhasil ditangkap polisi beberapa hari lalu."

UNWORTHY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang