Perempuan pemilik nama belakang Demir Roshan itu sejak tadi hanya bisa menangis, duduk dan bersandar meringkuk ke tepian ranjang. Mendengarkan celotehan Daffa yang sesekali memakai bahasa asing yang bahkan tidak ia pahami.
Daffa membuang napasnya berat. Jika boleh jujur, ia masih merasa syok setelah melihat kejadian beberapa saat lalu. Ini kali pertamanya melihat orang seputus asa Aiyla secara langsung, bahkan sampai terpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Merasa bersalah karena telah banyak membentak Aiyla, Daffa pun meraih gelas dan mengisinya dengan air. "Tenangkan dirimu," ujarnya seraya menyerahkan gelas tersebut kemudian duduk di samping kanannya.
Aiyla menerimanya, sehingga kini tubuhnya mulai dibuat tegak agar memudahkannya ketika minum.
"Sekarang biarkan aku bertanya," ujar Daffa setelah melihat Aiyla meletakkan gelas di atas lantai kayu tersebut. "Jika selama ini kau merasa Tuhanmu telah memberikan kepahitan dalam hidupmu, maka bahagiamu diukur dari hal apa?"
"Aku ... tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa Tuhan tidak berlaku adil padaku, Dia telah merampas segala hal yang kupunya. Semenjak ayahku tiada, aku tidak bisa menikmati hidup seperti biasanya. Masalah selalu saja menerpaku,"
Aiyla memperbaiki posisinya, menghadap Daffa. "Seseorang pernah berkata padaku: kita perlu menikmati kehidupan untuk bisa mencapai kebahagiaan. Tetapi mungkin saja Tuhan memang menciptakan diriku untuk tetap diam di jurang kenestapaan yang menjemukan."
Daffa menggelengkan kepala samar. "Kebahagiaan tidak diukur dengan seberapa kali kau bersedih, atau tertawa karena seseorang. Kau hidup sehat dan normal, seharusnya kau bahagia. Karena kebahagiaan dapat tercipta ketika kita bersyukur atas setiap embusan napas yang masih kita miliki,"
"Katakan jika aku salah, tetapi aku rasa kau terlalu banyak memusingkan masa lalumu. Kepergian seseorang itu pasti, tetapi jangan sampai membuat kepergian itu menjadi sesuatu yang terus menimbulkan rasa sedih yang berlanjut. Biarkan ayahmu tenang di sana, dan kau harus melanjutkan hidupmu ...."
Daffa mengambil jeda untuk bernapas. "Tanpa kau sadari selama ini pasti ada secuil kebahagiaan yang kau rasakan. Hanya saja itu semua tersamarkan oleh rasa bencimu terhadap keluargamu, terutama ayah tirimu dan juga rasa sedihmu karena masih berpikir mengapa Tuhan membuangku dalam palung kesedihan. Aiyla ... berpikir positiflah kepada Tuhan yang menciptakanmu ke bumi ini. Apa pun agama yang kau atau aku percayai, kita seharusnya tahu bahwa setiap masalah dihadirkan untuk menguji seberapa luas rasa sabar dan syukur kita atas segala hal yang kita dapat."
"Apa aku juga harus bersyukur atas hilangnya kesucianku, begitu?" tanya Aiyla dengan dada yang sudah naik-turun akibat kesal.
"Itu hal buruknya, tetapi coba kau telaah lebih dalam lagi," Daffa menatap Aiyla sepintas. "Tuhan telah membiarkan ayah tirimu melakukan hal rendah seperti itu, tetapi ... karena itu pula kau jadi bisa terbebas dari kungkungan pria seperti itu. Kau ada bersamaku, mungkin ini jalanmu untuk hidup lebih layak lagi. Tanpa bayang-bayang siapa pun yang selalu memberikan luka batin dan fisik padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNWORTHY [TAMAT]
Romansa[Seri 2 | Nuraga / Book2*] "Kita pergi sekarang!" pekik lelaki itu. Aiyla mengangguk tanpa ragu. Ia rasa, bersama lelaki ini akan jauh lebih aman daripada bersama keluarganya sendiri. - Harap yang tercipta akibat diselamatkan dan juga diberi kehidu...