51 - Memaafkan

476 36 20
                                        

"Berhenti menangis, Dek! Kamu tidak mau kita kecelakaan gara-gara Abang tidak fokus, 'kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berhenti menangis, Dek! Kamu tidak mau kita kecelakaan gara-gara Abang tidak fokus, 'kan?"

Kayla yang dibentak pun menggigit bibir bawahnya demi meredam isakannya. Dipandanginya sosok Daffa yang sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Meskipun sempat kecewa setelah melihat Daffa kembali ke kamarnya, tetapi tidak lagi setelah tahu bahwa Daffa kembali ke hadapannya dengan membawa kunci mobil dan jaket. Dan kini, mereka berakhir di dalam mobil bersama Akmal dan Tari yang sedari tadi mengomeli Daffa karena mengebut.

Tiba di depan apartemen Aiyla, di sana sudah ada Gulya yang sedari tadi menggedor-gedor pintu meminta putrinya untuk keluar. Gulya sempat menjelaskan, bahwa mereka sempat bertengkar di rumah sakit sebelumnya. Hal tersebut membuat Daffa dan Akmal sepakat untuk mendobrak pintu, karena tidak ada pihak resepsionis yang bisa memberikan kunci cadangan.

"Sekali lagi, Yah!" seru Daffa. Menghitung mundur dari tiga hingga satu, kemudian sama-sama maju.

BRAK.

Pintu terbuka, Daffa buru-buru mencari keberadaan Aiyla. Memilih balkon terlebih dahulu, tetapi nihil. Kemudian memutuskan untuk memasuki kamar tidur setelah mendengar Kayla berteriak mengatakan jangan.

Daffa mematung di tempatnya karena lagi-lagi harus menyaksikan kegiatan gila Aiyla. Perempuan berkemeja putih itu duduk di jendela, dengan sebagian tubuh berada di bagian luar yang pasti jika bergerak sedikit saja akan membuatnya jatuh dari lantai lima.

Lelaki itu mendekatkan telunjuk ke bibir meminta semua orang untuk diam dan jangan memanaskan keadaan. Perlahan, tungkainya bergerak mengikis jarak. "Aiyla, kau lupa perkataanku?"

Aiyla sama sekali tidak merespons. Ia memandang ke bawah sana, kemudian mengedarkannya ke sekitar. Gedung-gedung tinggi berada di dekat apartemen tersebut, sementara yang ia pijak saat ini hanya sejengkal pembatas yang ada di bawah jendela. Hatinya menghangat bersamaan rasa sakit yang semakin menjadi ketika mendengar suara Daffa setelah dua hari tidak.

"Kau baru saja berhasil selamat dari kejadian kemarin. Tidakkah sedikit saja terbersit di hatimu untuk memanfaatkan kesempatan hidup yang telah Tuhan berikan?"

Aiyla masih bergeming. Ia lelah mendengar kalimat kuno seperti itu. Baginya, bertahan hidup hanya membuatnya terus-menerus menderita. Saat hendak melepas cekalan di pinggiran kosen, perintah Daffa untuk tetap berpegangan terdengar melengking.

Kepalanya menunduk, kontan rambutnya pun ikut turun merungkau kedua sisi wajahnya. Udara dingin sore hari menyentuh tubuh bagian bawahnya, karena saat ini Aiyla hanya mengenakan kemeja panjang yang menutupi celana superpendeknya. Mendengar suara langkah semakin mendekatinya, Aiyla berseru, "Berhenti di sana!"

Tari mendekatinya, tak peduli dengan permintaan Daffa maupun Aiyla untuk tetap diam. Sebisa mungkin ia meredam kekhawatirannya, berbicara seluwes mungkin tanpa lupa tersenyum. Melihat Aiyla membuatnya seolah sedang melihat dirinya sendiri saat remaja.

UNWORTHY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang