"Mau pesan apa, Manis?"
"Tequila?"
Si bartender pun tersenyum menggoda sambil bergerak menyiapkan pesanan wanita itu.
Tempat itu adalah sebuah bar di dalam kereta api yang menuju ke Manhattan. Tak jauh dari sana ada seorang pria rupawan yang juga sedang duduk di sofa sambil merokok. Disana hanya ada wanita cantik itu, pria rupawan, dua orang pria berpakaian serba hitam— yang merupakan pengawalnya— dan si bartender yang baru saja menuangkan Tequila ke dalam gelas kosong.
"Terima kasih." Wanita itu tersenyum.
"Sama-sama, Manis."
"Apa bar disini selalu sepi?" Tanyanya penasaran."Ini masih jam sebelas lewat lima menit."
"Di kereta api orang-orang lebih memilih untuk tidur." Jawab si bartender."Kecuali beberapa orang yang punya masalah. Tapi jarang sekali."
"Kau pasti merasa jengkel bekerja tanpa pelanggan dan bersyukur ada empat orang manusia bermasalah malam ini."
Bartender terkekeh sembari mendongakkan dagunya ke arah pria-pria di sofa."Kau mengenal mereka?"
"Tidak, aku tidak mengenal mereka." Jawab wanita itu sebelum ia kembali melirik pria tersebut dan ternyata dia juga sedang mengarahkan pandangan padanya.
"Dia terus memandangimu."
Wanita itu memang sangat cantik. Terbukti dari omongan orang dan dari pandangannya sendiri saat melihat pantulan wajah itu di cermin. Tubuhnya layaknya seorang model. Dengan tinggi 170 cm, pinggang ramping dan payudara padat yang ukurannya tidak besar juga tidak kecil. Kulitnya halus seperti porcelain, bersih dan mulus tanpa noda. Bibirnya ranum, hidungnya mancung, bola matanya berwarna abu-abu, dipayungi oleh bulu mata yang lentik dan sangat lebat. Yang paling penting adalah; alisnya tercetak sempurna. Tak perlu mengukirnya lagi dengan pensil alis seperti wanita-wanita buruk rupa diluar sana. Intinya, dia sesempurna itu.
Jadi, ia paham kenapa pria itu terus memandanginya tanpa berkedip. Wanita itu sudah sangat terbiasa menerima tatapan kagum dari para pria.
"Pinot noir." Pria di sofa akhirnya datang untuk memesan minuman.
Dari setelan yang dikenakannya— walaupun hanya kaos polos dan celana jeans hitam, ia tau bahwa pakaian itu berasal dari brand mahal. Dan sudah pasti hanya orang kaya yang akan memakai brand tersebut. Pakaian merupakan identitas diri walaupun tidak sedikit pengusaha kaya raya yang lebih memilih pakai baju murahan karena mungkin mereka bosan dengan yang mewah-mewah.
Tapi ia pribadi, sangat tidak suka pria yang asal dalam penampilan mereka. Ia suka yang rapi, wangi, dan berkelas— seperti pria ini.
Saat menatap matanya, manik itu berwarna coklat gelap yang indah. Rahangnya terpahat tegas dengan sedikit bulu disana, tubuhnya juga atletis dan tinggi badannya kira-kira 190-an. Rambut ikal berwarna keemasan yang gelap, membuat tampilannya tampak begitu maskulin. Dada bidangnya— astaga, ia sampai bisa membayangkan betapa seksinya dada yang tercetak ketat di balik baju kaos mahal tersebut.
Sempurna sekali.
"Malam yang buruk?" Wanita itu mencoba membuka obrolan.
Dia menyesap Pinot noir-nya namun tak berniat menanggapi pertanyaannya sama sekali— dia terkesan seperti orang yang malas bersosialisasi. Tapi kenapa dari tadi dia memperhatikan wanita itu seolah ingin melucuti pakaiannya?
"Aku Syatra Castillo."
"Orang Spanyol?"
"Ya," Syatra mengangguk dengan sebuah senyum."Ayahku orang Spanyol dan ibuku Inggris. Tapi dia masih punya darah Spanyol dari buyutnya. Omong-omong aku baru enam bulan menetap di New York. Bagaimana denganmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR
RomanceLeonelle #1 | Sergio Leonelle dikenal sebagai seorang bandar narkoba yang sedang diintai oleh polisi. Dan sebagai salah satu agen yang ditugaskan dalam misi tersebut, Nala akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang dia inginkan yaitu m...