Chapter 5 : Deserve

78.4K 6.1K 1.3K
                                    

"Apa dia baik-baik saja?" Sergio akhirnya bertanya saat mobil mulai keluar dari pekarangan rumah sakit.

Dia yang dimaksud adalah ayahnya. Selalu saja ada sedikit perasaan tidak enak hati setiap kali ia berbuat hal-hal seperti itu terhadap ayahnya. Meski sedikit, tetap rasanya tidak menyenangkan. Lama-lama ia muak pada dirinya sendiri karena tak pernah bisa membenci seseorang dengan konsisten. Brengsek.

"Kubilang baik-baik saja, tidak juga. Kubilang buruk sekali, juga tidak benar. Dia berada di antara marah dan menyesal. Dan tidak tau harus memutuskan mana yang lebih dominan." Jawab John sambil melirik Sergio yang duduk di bangku belakang.

"Dia masih di rumah?"

"Sejauh mana dia sanggup pergi tanpa tongkatnya? Dia memilih untuk duduk di singgasananya sambil merenung dosa-dosa yang telah diperbuat."

"Lebih tepatnya merenung tentang bagaimana caranya ia mendapatkan tongkat baru dalam sekejap." Timpal Julio.

"Nah, itu juga tidak salah." John mengangkat jari telunjuknya.

Julio menatap Sergio lewat kaca lalu berkata."Kau tak perlu merasa bersalah, jika dia menganggap kau melakukan hal yang menurutnya salah, dia pasti akan datang untuk menghajarmu begitu tau lokasimu."

"Aku tidak begitu merasa bersalah."

"Tapi khawatir." Julio memberikan sebuah cengiran.

Sergio tidak ingin mengakui hal tersebut. Atau sebenarnya dia memang tak perlu mengakui apapun terlebih perasaan bersalah atau khawatir yang Julio maksud ini. Ayahnya pantas mendapatkan yang lebih buruk dari sekedar tongkat kebanggaan yang patah.

"Tak kukira akhirnya kau mewujudkan keinginanmu yang terpendam selama ini. Ayahmu pasti sangat bangga." John tertawa melucu.

"Selama ini dia menahan diri sebab dialah penyebab ayahnya harus berjalan pakai tongkat tersebut, idiot." Julio menyentil kepala John lalu melambatkan mobil ketika mereka berada di lampu merah.

"Rambutku, sialan! Jangan disentuh!"

Sergio memalingkan wajahnya ke luar jendela. Lima tahun yang lalu, ia bertengkar hebat dengan ayahnya hingga amarah membuat dirinya mengambil pistol lalu menembak kaki ayahnya. Hampir semua pertarungan antara dia dan sang ayah selalu hanya punya satu pemicu; ibunya.

"Bagaimana perasaanmu, kawan?"

"Tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan dari hari ini, kawan." Jawab Sergio dengan senyum miring.

"Berkat gadis itu?" John mengangkat alisnya sebelah."Dia yang tidur denganmu di kereta api, kan?"

Sergio tidak repot-repot buang waktu untuk menjawab pertanyaan bodoh itu. Sejenak benaknya mulai tertuju pada gadis itu lagi.

Mobil pun parkir di sebuah halaman rumah besar dengan pagar menjulang tinggi. Sergio selama ini memang tinggal bersama ayahnya di markas mereka tapi ia juga punya properti lain dan ini salah satunya. Sudah lama tidak berkunjung ke bangunan tua ini semenjak ia disibukkan oleh pekerjaan di Patlers Group. Beberapa pengawal yang berjaga pun datang untuk membukakan pintu walau mereka terlambat karena Sergio lebih senang buka pintu mobil sendiri. Ia tak begitu suka pekerjaan berlebihan seperti menggaji orang melakukan hal-hal konyol demi menunjukkan sebuah kedudukan tinggi.

Terlahir sebagai putra semata wayang mafia seperti Carlos yang haus akan penghormatan ternyata tak menjadikan Sergio sama sepertinya— mungkin dalam hal itu. Mungkin juga karena dia benci ayahnya sehingga semua yang ada di dalam diri Carlos tak ingin ia tiru. Pola pikir ayahnya sama sekali tidak mendapat titik temu dengan pola pikirnya.

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang