Chapter 6 : Conscience

66.7K 5.9K 1.2K
                                    

Syatra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan sebuah wadah berisi air dan handuk kecil serta kotak P3K yang baru saja ia keluarkan dari lemari. Ia menatap wajahnya di cermin, pada pipinya yang bengkak dan mulai membiru, pada sudut bibirnya yang mengeluarkan darah dan pada satu bagian di kepalanya yang sedikit botak akibat jambakan Valerian.

Ketika ia mengompres pipinya, ia meringis pelan karena rasanya luar biasa nyeri. Syatra bahkan kesusahan menggerakkan rahang atau lehernya. Bisa jadi tulang pipinya retak. Semoga cederanya tidak parah karena ia akan magang dalam tiga hari lagi.

"Kali ini aku tidak akan minta maaf untuk pukulan itu."

Syatra menaikkan arah pandangnya pada cermin— pada Valerian yang baru saja muncul, sedang bertelanjang dada dengan raut wajah yang masih menyimpan amarah.

"Aku tidak mengharapkan kata maaf darimu. Aku yang salah kali ini." Kata Syatra.

"Kali ini." Valerian mendekat dan Syatra sontak menjauhinya."Bukan hanya kali ini."

"Tolong jangan bahas yang sudah-sudah."

"Aku perlu bahas karena kau tidak sepatutnya mengatakan kali ini di dalam pembelaanmu."

"Astaga, kau tidak berhak menamparku hanya karena ada pria yang kirim pesan atau tersenyum padaku. Itu bukan salahku, Vale. Dan aku sudah memaafkanmu jadi tolong jangan bahas lagi."

"Kau tau betul dimana letak salahmu. Aku tidak menyalahkan pria-pria yang mengagumi kecantikanmu karena aku paham betapa mereka menginginkanmu."

"Vale please—"

"Aku belum selesai bicara."

"Kupikir kita sudah selesai membicarakan masalah itu—"

"Aku. Belum. Selesai. Bicara."

Syatra diam.

"Salahmu adalah kau membalas senyum mereka. Kau centil pada mereka." Lanjut Valerian."Dan dalam hal ini kau tau betul siapa yang patut dihajar, bukan?"

"Ya, aku memang patut dihajar sampai babak belur untuk kesalahanku. Aku mengakuinya. Aku minta maaf dan aku menyesal." Syatra menahan napasnya agar tidak meledak.

"Kata maaf dan penyesalanmu malah membuatku muak karena kau mengakui kesalahan dengan begitu lugas seolah yang kau perbuat bukan masalah besar. Sial, Syatra aku sama sekali tidak merasa baik dengan mendengarkan penyesalanmu."

"Lalu apa yang membuatmu merasa lebih baik? Menghajarku sampai pingsan?"

"Jangan paksa aku melakukannya. Aku tidak pernah ingin melukaimu. Kau lah orang yang sudah memancingku untuk terus menerus melakukannya." Valerian menggelengkan kepalanya."Kali ini sangat parah sampai aku tidak tau apa yang pantas kuberikan untukmu sebagai hukuman."

Tanpa sadar Syatra mengepalkan tangannya.

"Kau membuatku meniduri Emilia. Aku tidak akan meniduri siapapun andai kau tidak tidur dengan bajingan kereta api. Setelah berjumpa denganmu, aku bersumpah di depan Tuhan bahwa kau akan menjadi wanita terakhir yang akan kutiduri dan kucintai. Kau membuat janjiku rusak dan menjadikanku pria paling brengsek yang pernah ada."

Seluruh aliran darah Syatra terasa mendidih, bukan karena kenyataan bahwa Valerian sudah tidur dengan Emilia atau siapapun. Ia sama sekali tidak peduli. Persetan. Dan lagi-lagi ia memilih untuk diam— hanya karena ia ingin segera mengakhiri perdebatan ini.

"Aku tidak suka saat kau diam saja."

"Aku tidak tau harus bilang apa selain maaf dan kau tidak menyukai kata itu."

"Kau harusnya menyangkal! Saat kutanya apa kau tidur dengan pria lain, harusnya kau bilang tidak. Seperti yang selalu kau teriakkan padaku dulu. Itu yang ingin kudengar dan bukan kata maaf, maaf dan maaf, sialan!"

"Karena dulu aku memang tidak melakukan apapun yang kau tuduhkan padaku! Karena dulu jelas aku tidak bersalah!" Teriak Syatra tidak tahan lagi. Ia sampai melupakan betapa perihnya rahangnya sekarang.

Valerian merasakan gelombang amarahnya mulai meledak dan keinginannya untuk menghantam Syatra membuncah detik itu juga. Tapi yang ia lakukan adalah menonjok dinding."Kau sama sekali tidak mencintaiku."

"Menurutmu kenapa aku masih bertahan disini?" Syatra mengatupkan rahangnya, berusaha menahan tangis karena dia benci itu."Menurutmu kenapa aku masih ada disisimu kalau aku tidak mencintaimu?"

Valerian memalingkan wajahnya.

"Kurasa kau memang tidak akan pernah bisa berubah."

Syatra baru saja hendak keluar dari kamar mandi sebelum Valerian berlutut di depannya sambil memeluk kaki dengan wajah tertunduk lesu."Aku senang kau mengatakan bahwa kau masih mencintaiku, Syatra. Aku hanya ingin mendengarkannya dan terus mendengarkannya."

Valerian menangis.

"Aku benar-benar ingin berubah." Ucapnya lirih."Aku pasti brengsek sekali, bukan?"

Syatra tau betapa terpukulnya pria itu. Betapa dia benci dirinya sendiri karena tidak dapat mengendalikan temperamennya yang bermasalah. Begitu pula dengan dirinya, Syatra hancur berkeping-keping tapi dia tak ingin melewatkan detik berharga untuk bersedih dan meratapi nasib tapi malam ini ia ingin menjerit dengan sangat amat keras, memuntahkan segala kesakitan yang sudah ia kubur di dalam hatinya.

"Aku tidak bisa hidup dan aku tidak akan menjadi siapa-siapa tanpamu, Syatra."

Bola mata Syatra mengkilap dan rahangnya menegang. Kerongkongannya tercekat akibat usaha yang begitu keras untuk menahan amarah.

"Aku ingin terus mendengarkannya, sayang. Bisakah kau mengatakannya sekali lagi bahwa kau mencintaiku?" Valerian mendongak dengan wajah memelas.

"Aku mencintaimu."

Kemudian Valerian bangun kembali, merengkuh wajah Syatra bersamaan dengan Syatra yang meringis dan berjengit. Jantungnya berdegup kencang oleh perasaan waspada kalau-kalau pria itu bisa melayangkan pukulan-pukulan lainnya.

"Jangan takut, aku hanya akan membelai rambutmu." Valerian berhati-hati saat jemarinya menyentuh pelipis Syatra pelan-pelan lalu menyelipkan anak rambut wanita itu ke balik telinga hingga ia dapat melihat hampir sekujur pipi kanan Syatra membengkak parah."Ini tidak apa-apa, hanya bengkak dan akan sembuh dalam beberapa hari."

Tanpa menjawab, Syatra berpaling pelan untuk menghindari sentuhan Valerian.

"Aku lupa mengatakan padamu, minggu depan kita akan menghadiri pesta pembukaan gedung baru Voss Company. Semoga saat hari itu tiba, wajahmu sudah kembali seperti semula."

Setelah mengatakan itu, Valerian mengecup bibir Syatra dan menghilang dari kamar mandi.

Syatra selalu percaya satu hal bahwa manusia itu memang punya dua sisi. Kalau tidak, mereka sudah pasti seorang malaikat atau iblis. Jahat dan buruk membentuk simpul dengan pola yang berbeda-beda di dalam diri setiap insan. Namun seberapa besar kadar perbuatan jahat seseorang yang sanggup kau tampung? Seberapa sanggup kau menerima sisi iblis seseorang?

Tidak ada yang tau sebelum kau mendekati batas itu sendiri.

Setelah mengompres lukanya, Syatra keluar dari kamar mandi dan berdiri di ambang pintu, melihat Valerian yang sudah tertidur. Setelah hari yang mengerikan, ia tak berharap menghabiskan tidurnya dengan mimpi buruk di sebelah pria itu. Dan lagipula, dia mengidap insomnia. Dia pernah memberitahu informasi itu pada Sergio ketika mereka bertemu di bar kereta api malam itu.

Sergio Leonelle.

Syatra duduk di kusen jendela dapur yang mengarah ke halaman belakang— ia duduk menekuk lututnya sambil memandangi layar ponsel. Lalu mulai menulis sesuatu.

———

TO BE CONTINUE

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang