Chapter 16 : Attack

88.6K 7K 953
                                        

Moscow, Rusia

Setelah perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya mereka mendarat dengan mulus di kota dengan jumlah penduduk terbanyak se-eropa tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya mereka mendarat dengan mulus di kota dengan jumlah penduduk terbanyak se-eropa tersebut.

"Kau sudah tiba di Moscow?" Tanya Rodolfo lewat telepon beberapa saat setelah ponsel Sergio kembali aktif.

"Baru saja sampai di bandara," Sergio mengiyakan."Bagaimana dengan Valerian Làzcano? Urusan dengan dia sudah beres?"

"Tidak ada masalah, semua berjalan dengan baik."

"Bagus."

Memang setiap kali Sergio berada di Rusia, Rodolfo lah yang akan mengambil alih pekerjaannya di New York. Mereka akan berkomunikasi lewat telepon jika memang ada hal-hal mengenai pekerjaan yang mendesak.

"Omong-omong, bagaimana Moscow? Masih seindah setahun yang lalu?" Tanya Rodolfo.

"Kota ini tidak pernah terlihat buruk di mataku, Rodolfo."

Sergio mengarahkan pandangannya jauh ke balik dinding jendela bandara. Langit sudah gelap dan salju yang turun perlahan-lahan semakin lebat. Moscow adalah kota dimana Sergio tumbuh besar. Sudah sebulan lamanya ia disibukkan oleh perusahaan milik suami kakaknya di New York sehingga tidak punya waktu untuk pulang.

"Rasanya sudah lama sekali aku tidak pulang. Mendadak jadi rindu Moscow." Kata Rodolfo."Terutama jalang-jalangnya."

Sedangkan tak jauh dari sana, Nala duduk di kursi tunggu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun tidak banyak yang bisa dinikmati karena lagi-lagi mereka berada di ruangan khusus. Kepalanya pusing bukan main. Perjalanan sembilan jam— meski dengan pesawat yang mewah— ternyata tak mampu mencegah rasa mual.

Nala pun beranjak untuk mencari kamar mandi namun langkahnya dicegat oleh seorang pengawal bermata sipit."Aku mau ke kamar mandi." Kata Nala memberitahu.

Tidak ada jawaban dari pengawal tersebut. Laki-laki itu seperti khusus ditugaskan untuk menjadi patung berjalan. Saat Nala kembali melangkah, lagi-lagi pengawal itu mencegatnya.

"Jika kau terus seperti ini, aku bisa-bisa muntah di lantai." Kata Nala sembari menatap kesal pada pria sialan itu.

"Saya akan menemani Anda."

"Demi Tuhan, aku hanya pergi ke kamar mandi bukannya mau pergi tawuran, jadi tidak perlu di kawal."

"Tuan Sergio memiliki banyak musuh di Moscow, apalagi Anda pengacaranya. Akan lebih baik jika Anda mendapatkan penjagaan."

"Baiklah, terserah kau saja." Nala mengalah. Mendengarkan pria ini terus mengoceh malah membuat kepalanya semakin berputar-putar. Ia bahkan tak peduli jika pengawal sialan itu ikut masuk ke dalam toilet untuk menontonnya muntah dan buang air.

Makanan yang disajikan di dalam pesawat benar-benar bukan seleranya.

Selama makan siang berlangsung, keduanya tidak banyak bicara. Setelah selesai mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Sergio dengan pekerjaannya sementara Nala memilih untuk mengurung diri di dalam kamar sambil mempelajari dokumen sengketa tanah yang harus ia hadapi. Mungkin itu salah satu pemicu kenapa dirinya mengalami jetlag parah.

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang