Petak 4

838 137 12
                                    

Happy reading!
.

.

.

Dua Minggu telah berlalu

Seperti biasa, Fajri selalu menghabiskan malamnya dibalkon kamarnya. Panggil saja anak balkon, ditemani dengan teh panas sembari mabar online dengan ketiga sahabatnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang membuka knop pintu kamarnya, Fajri tak menggubris sama sekali dan masih terfokus dengan mabarnya. Paling juga bibi, itu yang ada di dalam pikiran Fajri.

"Sayang mami ganggu kamu nggak," sapa wanita itu yang sekarang tengah berdiri di sebelah Fajri. Ternyata yang masuk ke dalam kamarnya bukan bibi melainkan maminya.

Seketika itu juga Fajri langsung mematikan ponselnya dan menaruhnya di meja yang ada didepannya dengan raut wajah gugup dan panik takut maminya marah.

"Aji bisa jelasin mi," jelasnya terbata-bata.

Ike tersenyum dan mengelus pundak Fajri, "Lagi apa?"

"Mabar sama temen-temen" jawab Aji tertunduk, ia tahu pasti maminya akan memarahinya.

"Lanjut aja mabarnya," titah Ike membuat Fajri sedikit terkejut dan bingung kenapa sikap maminya itu aneh.

"Sambil mabar, Mami mau ngobrol sebentar boleh?" tanya mami pelan sembari duduk di kursi sebelah kursi Fajri duduk.

Walaupun terasa aneh, Fajri mengabaikan hal tersebut, baginya maminya memang aneh tidak bisa di tebak sikapnya. Akhirnya ia mengambil kembali hp nya dan kembali mabar dengan ketiga sahabatnya.

"Nanya aja kali mi, biasanya kan juga langsung nanya," Fajri tak sama sekali curiga dengan sikap maminya yang tiba-tiba lembut dan seperti ingin ngobrol serius. Ia masih terlelap kembali dalam mabar bersama sahabatnya, bahkan melihat maminya waktu ngobrol pun tidak.

"Kalau misalkan kamu disuruh memilih, kamu bakal memilih mami atau papi?" tanya mami dengan nada pelan agar anak tunggalnya itu tidak terkejut dengan semua itu.

"Apa sih mi mansutnya, buat apa coba milih-milih begituan," cengenges Fajri.

Fajri mengira maminya sedang bercanda, bahkan dia juga masih fokus dengan mabarnya. Fajri sebenarnya peka ? Atau gak peka? Atau justru dia hanya mengalihkan perhatian maminya agar tidak membahas hal itu.

"Gapapa mami bercanda aja, kamu terlalu serius sih mabarnya," bohong mami. Mami benar-benar berbohong kepada anak Fajri.

Ia rasa ini belum saat yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang serius, Fajri belum siap untuk hal itu. Sangat tidak siap.

"Garing banget deh mami," sautnya sambil nyengir.

Mami terus memandangi lebih dalam putra semata wayangnya yang sedang bermain game itu, tanpa disadari anaknya sudah tumbuh menjadi dewasa. Semoga saja mentalnya sebesar tubuhnya sekarang atau bahkan lebih besar dan lebih kuat. Sering kali tak diperhatikannya karena sibuk pergi ke luar kota demi menutupi suatu masalah.

***
"Fokus banget Lo Ji, mending Lo belajar di gazebo aja sana daripada di lapangan basket gini," ujar Fiki

Saat ini mereka sedang ada di lapangan basket, menjadi rutinitas setiap pulang sekolah untuk latihan karena turnamen sebentar lagi.

"Ga, gua mau tetap disini biar sekalian bisa mantau dan bisa ikut latihan kalau diperlukan," tolak Fajri yang masih terfokus dengan bukunya.

Padahal Fenly saja yang ambis tidak seambis itu juga. Fenly lebih memilih olimpiade daripada ikut turnamen. Beda dengan Fajri yang kekeh dengan mengikuti keduanya.

The Maze End [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang