Petak Terakhir

751 140 14
                                    

End??
Happy reading!!!
.

.

.

Sepanjang hari aktivitas Fajri dan Fiki sama, sekolah dan kerja. Itu terus yang berputar, bahkan waktu nongkrong atau mainnya dengan kedua sahabatnya pun berkurang.

Itu sedikit membuat Fenly dan Zweitson sedih karena gabisa ngumpul, apalagi ini mendekati ujian pastinya semua semakin sibuk untuk persiapan ujian ataupun masuk perguruan tinggi.

Belum berpisah, masih tinggal di kota yang sama saja seperti ini. Apalagi nanti kalau sudah fokus mengejar mimpi di bangku perkuliahan di perguruan tinggi impian masing-masing. Betapa sulitnya nanti untuk kumpul.

"Jujur, gue rindu kita yang dulu Son," ujar Fenly disela-sela belajarnya.

"Gue juga Fen, tapi mau gimana lagi. Situasinya sudah berbeda," ucap Zweitson sembari berjalan menuju balkon.

"Kita gabisa bantu apa-apa selain doa, duit mana punya? Kerja aja kagak!" lanjut Zweitson berdiri di pagar balkon menatap pepohonan yang ada di samping rumahnya.

Fenly menutup bukunya dan berjalan menghampiri Zweitson di balkon, "Semoga apa yang diharapkan mereka tercapai, kerja kerasnya gak sia-sia. Tapi gue seneng tau, Fiki sekarang lebih terlihat dewasa banget dan pekerja keras."

"Mereka berdua jauh lebih baik dari sebelumnya. Udah bisa menerima keadaan, gue aja gatau kalau diposisi seperti Aji bisa sekuat dia apa nggak mental gue," salut Zweitson.

"Berarti misi kita selesai dong?" tanya Zweitson menatap Fenly.

"Iya, tos dulu dong!" Zweitson dan Fenly sama-sama tos persahabatan yang selalu mereka berempat pakai.

"Sebenernya kalau Fiki susah menerima kepergian bang Shan itu wajar sih. Gue aja yang dibilang deket banget sama bang Shan sih nggak ya, itupun karena kita sering main sama Fiki. Tapi jujur nih, bang Shan orangnya tulus dan penyayang banget, waktu gue lomba di Bandung dulu itu loh. Bang Shan bener-bener ngurusin gue dan Aji sama rata kayak ngurus adek sendiri. Gue yang baru deket beberapa hari di Bandung aja nyaman dan ngerasa kehilangan, apalagi Fiki yang sejak kecil. Fiki udah ditinggal papanya sejak kecil, pasti bang Shan yang gantiin posisi itu, sekarang keduanya pergi," ujar Fenly menatap langit dengan mata yang tiba-tiba berair mengingat sahabatnya—Fiki.

"Iya, kalau inget mereka berdua gue ngerasa beruntung banget masih punya kesempatan bisa kumpul sama ayah dan bunda sama Lo juga. Disaat di luar sana banyak orang yang sudah tidak bisa bersama orang-orang tersayangnya," sambung Zweitson sembari senyum tipis.

***
Di bulan-bulan pertama dan kedua sedikit membuat Fiki kewalahan dan bahkan hampir jatuh sakit karena jadwalnya yang sangat padat. Mungkin karena masih dalam fase pengenalan dan pendekatan dirinya dengan lingkungan barunya yaitu dunia kerja.

Fajri terkadang merasa kasihan ketika melihat Fiki sedang bekerja di cafe, nampak jelas rasa lelahnya karena belum terbiasa. Namun, ia hanya diam tidak mengungkapkannya langsung, takut Fiki menjadi tidak nyaman.

Bagi Fajri kejar-kejaran waktu dan lelah antara sekolah, kerja dan belajar sudah terbiasa. Tapi bagaimana dengan Fiki? Ia berusaha keras membiasakan dirinya untuk bergulat dengan waktu dan rasa lelah karena harus sekolah, kerja, dan belajar, apalagi akan ada ujian.

Mau tidak mau ia menahan rasa kantuk dan lelahnya untuk belajar setelah pulang kerja yang kondisinya sudah hampir larut malam.  Kurangnya jam tidur dan rasa lelah yang melanda terkadang membuat Fiki mengantuk saat jam pelajaran dan bahkan sering menggunakan jam istirahat sekolah untuk sekedar tidur memejamkan mata.

Melihat kedua anaknya seperti itu tentu membuat Rima sangat khawatir akan kesehatan Fajri dan Fiki. Berulang kali Rima menyuruh Fajri dan Fiki untuk berhenti kerja, namun keras kepala mereka berdua membuat Rima tidak bisa berbuat banyak. Demi mewujudkan mimpi Shandy, mereka berdua rela melakukan itu semua bahkan Rima sendiri tidak tahu jika kedua anaknya kerja keras seperti itu untuk sebuah misi.

The Maze End [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang