Petak 47

698 135 24
                                    

Happy reading!!!
.

.

.

Kini Fajri dan Fenly sudah ada di ruang administrasi sekolah untuk menemui guru yang akan mendampingi mereka saat opening penyambutan siswa di Singapura.

Awalnya pak Anton sempat ragu ketika melihat keadaan Fajri, apa yakin akan mengikuti dengan keadaan yang seperti ini. Namun, Fajri berusaha meyakinkan dan akhirnya diperbolehkan dengan syarat jika terjadi sesuatu terhadapnya akan langsung dipulangkan ke Indonesia.

Setelah mengambil surat persetujuan yang harus ditandatangani oleh keluarga, Fenly dan Fajri pamit untuk kembali ke kelas.

"Eh Lo yakin Ji? Kalau Lo ga bisa gausah dipaksa kali. Kan Lo juga harus ke dokter buat kontrol kaki," tanya Fenly khawatir dengan keadaan Fajri.

"Gue bisa Fen," jawab Fajri optimis.

"Tapi papi Lo?"

"Gue tahu gimana caranya,"

Entah sebenarnya ada apa denga Fajri yang ngotot sekali ingin ikut program ini. Ya benar sih dia tidak mau membuang kesempatan yang dulu ia usahakan dengan susah payah bahkan hingga maminya meninggal pun dia tidak sedang disamping maminya.

Semua itu dia lakukan demi membanggakan maminya, dan sekarang ia sudah mendapatkannya. Tidaklah mungkin seorang Fajri membuangnya begitu saja.

Fenly pasrah membiarkan sahabatnya itu yang menentukan keputusan, dan ia sebagai sahabat hanya bisa mendukung apa yang dilakukan sahabatnya selama itu yang terbaik.

***
Di mobil perjalanan pulang Fajri masih bingung harus beralasan apa agar diijinkan papinya berangkat ke Singapura.

Suasana dingin semakin hening karena tidak ada satu pun obrolan dari Fajri dan Fiki. Fajri masih terfokus mencari alasan sedangkan Fiki yang sedang bermasalah dengan Fajri hanya terfokus menyetir mobil.

"Assalamu'alaikum," salam Fiki yang jalan mendahului Fajri saat sudah sampai di rumah.

"Wa'alaikumsalam," jawab seseorang dari dalam rumah.

Ternyata di ruang tengah sudah ada Rima dan Rama tengah menonton televisi. Setelah salim dengan ayah dan mamanya, Fiki langsung naik ke atas pergi ke kamar tanpa berkata apapun.

Sedangkan Fajri masih bingung harus bagaimana menjelaskannya kepada Rama tentang surat itu.

Penuh ketakutan dan keraguan, Fajri menyerahkan amplop yang berisi surat diletakkannya ke atas meja didepan papinya.

Rama menatap Fajri seolah meminta penjelasan amplop apa itu, hanya saja Fajri terdiam tidak mau menjawab.

Dengan pelan Rama mengambil dan membuka surat yang dibawa Fajri, membacanya satu kalimat demi kalimat hingga membuatnya terkejut.

"Kali ini papi nggak kasih ijin," ujar Rama mendapat tatapan tajam dari Fajri.

"Kenapa? Aji udah berjuang buat dapetin itu," balas Fajri tak terima dengan keputusan Rama.

"Coba lihat keadaanmu sekarang, kamu juga masih harus kontrol ke dokter,"

"Dikasih ijin ataupun tidak, Fajri akan tetap pergi!" kecam Fajri lalu pergi ke kamar.

"Aji!" teriak Rama. Namun, tidak dipedulikan oleh Fajri.

"Keras kepala," gerutu Rama meletakkan surat persetujuan ke atas meja dengan kasar.

"Sabar mas," ujar Rima yang berusaha menenangkan Rama.

"Ajak ngobrol pelan-pelan," titah Rima.

***
Fajri melempar kasar tasnya ke atas ranjangnya, kemudian dia membaringkan tubuhnya ke kasur dengan kaki kiri yang masih tertekuk.

The Maze End [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang