Petak 58

633 131 6
                                    

Happy reading!!!
.

.

.

Fiki terdiam di kelas dengan tatapan kosong, ini membuat Zweitson yang disebelahnya merasa khawatir. Sahabatnya Fajri saja belum pulih sepenuhnya, kini bertambah satu lagi sahabatnya yang menjadi pendiam.

"Fik!" sapa Zweitson hingga membuat Fiki terkejut.

Fiki tak menjawab, ia hanya menoleh.

"Cerita Fik, jangan dipendem sendirian!"

Fiki justru menggeleng pelan, "Gue ga tau harus cerita apa?"

"Perasaan gue campur aduk, ini semua rasanya masih kayak mimpi bagi gue Son," adu Fiki dengan pandangan kosong.

"Gue tau Fik ini pasti berat banget buat Lo, Aji, dan keluarga Lo. Gue tau gimana bang Shan di keluarga Lo, gapapa Fik kalau Lo belum bisa sepenuhnya menerima ini semua, pelan-pelan gausah dipaksa. Tapi yang harus Lo tahu, kehidupan Lo akan tetap terus berjalan tanpa menunggu Lo sudah siap,"

"Entah kenapa perginya papa sama perginya bang Shan, lebih sakit ditinggal pergi bang Shan,"

Zweitson tersenyum tipis, "Papa Lo pergi saat Lo masih kecil, Lo belum terlalu paham saat itu dan waktu kebersamaan Lo dengan papa Lo juga singkat. Sedangkan Lo sama bang Shan? Dari kecil sampai Lo sebesar ini, pasti banyak suka duka Lo lalui bersama. Jadi wajar kalau Lo merasa kehilangan banget,"

"Andai waktu itu Aji nggak seperti itu, pasti bang Shan masih ada di sini,"

Zweitson menarik napas panjang sebelum menghembuskannya kembali, ternyata sahabatnya ini masih menyalahkan Fajri dalam hal ini, "Fik, ini namanya takdir. Tidak ada yang salah dalam hal ini,"

"Jelas-jelas dia yang salah, gue benci sama dia. Gara-gara dia Abang gue pergi Son!" nyolot Fiki.

"Fik, kondisi Aji saat itu juga lagi gak baik-baik saja. Dia baru kehilangan papinya, Lo tadi sendiri kan yang bilang kehilang bang Shan sangat menyakitkan. Sama halnya Aji juga Fik, dia udah kehilangan satu keluarganya, gue kalau ada di posisi dia nggak tau bisa sekuat dia apa nggak. Dia hampir depresi Fik,"

"Jadi Lo nyalahin gue? Semua orang belain aja dia terus," sentak Fiki lalu bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja.

"Fik bukan gitu maksud gue," teriak Zweitson. Namun, Fiki sudah melenggang pergi dari kelas.

"Ahhh susah banget sih," gusar Zweitson mengusap wajahnya dengan kasar.

Zweitson bangkit berusaha mengejar Fiki, ditengah perjalanan dia berpapasan dengan Fajri dan Fenly. Mereka berdua menatap kepergian Fiki yang melewatinya kemudian menatap Zweitson yang mengejar di belakang.

"Fiki kenapa Son?" tanya Fajri penasaran.

"Biasalah, susah banget bicara sama dia," dumel Zweitson dengan napas yang sudah ngos-ngos an.

"Gue kan udah bilang, jangan paksa dia," gerutu Fajri kemudian pergi mengejar Fiki. Fajri sudah bisa menebak apa yang dibicarakan Zweitson kepada Fiki.

"Tapi Ji," sahut Zweitson yang langsung ditahan oleh Fenly.

"Kita ikuti dari jarak jauh saja," Zweitson pun mengangguk.

Ternyata pelarian Fiki saat ini adalah bermain basket sendirian di lapangan. Memang suasana lapangan basket yang sepi jarang dikunjungi siswa pas untuk menyendiri. Fiki terkejut tak kala ada bola masuk ring selain bolanya, padahal ia sedang sendirian.

Wajahnya seketika berubah menjadi masam saat melihat Fajri di dekatnya, "Ngapain Lo ke sini?"

"Nggak boleh? Ini kan umum,"

The Maze End [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang