Petak 21

623 120 1
                                    

Happy reading!!
.

.

.

Suasana sarapan keluarga Fiki tak mengenakkan. Fiki dan Shandy sedikit dingin dengan Rama, Rama juga menyadari akan hal itu dan memakluminya.

Sementara Qeela dan Rima yang belum tahu apa-apa hanya kebingungan, Rima terheran dengan sikap kedua putranya yang tidak biasanya bersikap seperti itu kepada orang yang lebih tua, apalagi ini kepada ayah sambungnya.

Mereka berdua memang bandel, tapi masih tau bagaimana cara bersikap yang baik dan mengkondisikan diri mereka sedang berhadapan dengan siapa.

Disekolah Fajri juga sedang menghindar dengan ketiga sahabatnya.

Bahkan ketika Fiki dan Zweitson sengaja menunggu dikelas Fajri agar bisa bertemu dengannya. Namun, ketika Fajri sampai di pintu kelasnya mengetahui keberadaan mereka justru pergi menghindar tidak jadi ke kelas.

Fenly berharap ketika bel masuk, Fajri masuk ke kelas dan duduk seperti biasa disebelahnya. Benar, ketika bel berbunyi Fajri masuk ke kelas. Namun, bukan duduk disebelahnya melainkan duduk di bangku paling belakang yang kebetulan sedang kosong karena sang pemilik sedang tidak masuk hari ini.

Fenly menatap miris punggung Fajri saat berjalan ke belakang.

Pulang sekolah Fajri juga sengaja pulang belakangan karena masih menghindar dengan ketiga sahabatnya. Sedangkan Fenly justru janjian dengan Fiki dan Zweitson untuk pulang segera agar bisa menunggu Fajri di parkiran sekolah.

Rencana Fajri gagal total, ia melihat ketiga sahabatnya diparkiran. Ia tahu kalau mereka sengaja menunggunya.

Ingin menghindar tapi tak bisa, karena ini sudah jadwalnya untuk ke cafe. Dengan terpaksa Fajri berjalan menuju ke motornya.

Wajahnya datar dan fokus ke motornya tanpa memperdulikan suara ketiga sahabatnya yang berulang kali memanggilnya. Pandangannya lurus hanya tertuju pada motornya, tak sedikitpun melirik ke ketiga sahabatnya.

Ia sempat mengibaskan tangannya dengan paksa saat Fiki memegang lengannya. Fajri pergi begitu saja meninggalkan mereka tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.

"Maaf in gue guys!" batin Fajri, matanya menatap ketiga sahabatnya yang sepertinya kecewa melalui kaca spion motornya.

Fenly bingung dan pusing dengan Fajri yang tiba-tiba berubah drastis semenjak kejadian malam itu. Ia lebih khawatir dengan babak terakhir olimpiade besok, tak mungkin menang bila chemistry yang terjadi diantara mereka berdua masih berantakan seperti ini.

"Gue bingung besok gimana?" resah Fenly.

"Fajri pasti tanggung jawab," saut Fiki dengan sedikit keraguan.

"Lo yakin disaat kondisi hubungan gue sama Aji begini bisa menang? Kompak aja kagak bisa!" tekan Fenly.

"Ya.. ya.. ya.. yasudahlah banyakin doa!" pasrah Zweitson penuh keraguan.

Setelah sholat maghrib di rumah masing-masing, Fenly, Fiki, dan Zweitson pergi kerumah Fajri berusaha untuk menjelaskan apa yang sebenernya terjadi walaupun itu hal yang sulit.

Dihalaman rumah Fajri, Fiki tidak melihat motor Fajri terparkir di bagasi, hanya ada satu mobil. Fenly tetap berpikir positif mungkin motor Fajri dibengkel.

"Assalamu'alaikum!" Fenly mengetok pintu rumah Fajri

"Wa'alaikumsalam!" jawab bibi membuka pintu

"Fajri ada bi?" tanya Fenly

"Loh si Aden belum pulang, biasanya pulangnya jam set 11 malam!" jelas bibi membuat mereka bertiga terkejut.

"Kira-kira kemana ya bi?" kali ini Zweitson yang bertanya.

"Katanya Aden belajar buat persiapan olim! Bukannya sama den fenly belajarnya?"

Fenly ternganga tak kala mendapat respon bibi seperti itu. Fiki dan Zweitson juga menatap Fenly tajam.

"E e iya bi terimakasih ya saya lupa kalau ada janjian di luar! Kita pamit dulu ya bi" kata Fenly terbata-bata, iya Fenly berbohong.

Fiki langsung menampol pundak Fenly kesal, ia mengira sedang dikerjain oleh Fenly. Fenly mengeluh sakit setelah kena tampolan tangan Fiki yang lumayan terasa, ia mengelus-elus pundaknya.

"Lo bohong Fen!" seru zweitson.

Fenly menarik mereka berdua ke motor, karena Fenly rasa tidak aman bila membicarakan Fajri didepan pintu di teras rumahnya.

"Lo tadi gk denger bibinya ngomong? Fajri pasti lagi menyembunyikan sesuatu dari keluarganya, bahkan kita. Kalau gue jujur, keluarganya bingung dan bakal curiga, kita bakal ngehancurin rencananya Fajri gobl*k!" dengan runtut Fenly menjelaskan

"Tetep aja bohong kagak boleh!" celetuk Fiki

"Daripada debat mending pikirin yang lagi disembunyikan sama si Aji apa, sampai gk bilang ke kita!" titah Zweitson, pikirannya bingung penuh tanda tanya.

"Ah capek gue, mana besok lagi!" frustasi Fenly mengusap kasar rambutnya

"Aha mending nongki dulu dicave sekalian refreshing otak!" saran Fiki mengacungkan jari telunjuknya

"Bilang aja perut Lo pingin refreshing," gerutu Zweitson

Kini mereka meninggalkan rumah Fajri untuk pergi ke cave, sepanjang jalan pikiran Fenly rusuh memikirkan bagaimana besok.

Ketika Fajri sedang mengantarkan pesanan ke meja pembeli, ia sedikit mengernyitkan dahinya tak kala melihat ke arah luar seperti mengenali seseorang.

Berulang kali mengedipkan mata untuk memastikan kalau itu bukan orang yang Fajri pikirkan. Namun, saat membuka helm Fajri tersentak.

Ia langsung lari ke dapur untuk sembunyi, belum siap harus bertemu dengan ketiga sahabatnya itu untuk saat ini.

Sikapnya yang panik membuat para pekerja lain bingung melihatnya lari terburu-buru ke dapur seperti orang yang didatengi rentenir untuk ditagih utang.

"Minta tolong gantiin gue sebentar ya jadi pelayan, gapapa deh gue yang cuci piring?" pintanya kepada mas-mas bagian cuci piring.

"Kenapa sih Lo?"

"Udah nanti aja ceritanya, yaudah sana!" usir cepat Fajri.

Fiki, Fenly, dan Zweitson masuk ke dalam cave dan memilih tempat duduk di paling pojok. Tempat yang menjadi favorit mereka setiap datang ke cave ini. Bahkan para pelayan pun sudah hapal akan hal itu.

Fenly menghempaskan tubuhnya ke tempat duduk dan menaruh tasnya kasar ke meja.

"Sampai kapan musuhan begini?" decaknya kesal.

Zweitson menaikkan bahunya pelan yang berarti tidak tahu, pasrah. Pasti memang sulit jika berada di posisi kesalah fahaman ini yang mengira semua orang menutupinya dari Fajri padahal pada kenyataannya tidak. Semuanya sama-sama berada diposisi ketidak tahuan.

Disatu sisi Fiki juga merasa bersalah dan bodoh, kenapa dari awal dia tidak mencari tahu kebenaran atau setidaknya mencari asal-usul tentang calon ayahnya. Ia terlalu mempercayakan semuanya kepada mamahnya.

"Makan! Makan! Lanjut mikirnya nanti, laper gabisa mikir," celetuk Zweitson tak kala makanan yang mereka pesan sudah datang.

Semangat tidak semangat mereka makan malam itu seperti terbebani sesuatu hal hingga menyebabkan makan tak lahap. Fiki yang biasanya doyan makan tiab-tiba napsu makannya turun dan hanya mempermainkan makanannya. Padahal tadi ia lah yang paling bersemangat untuk makan.
.

.

.

Thanks udah baca cerita gaje ini

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote n comment

See you

Ketika semua usaha sudah kukerahkan, selebihnya ku serahkan kepada Tuhan
-Fenly-

12/07/2021 ~ 26/04/2022

The Maze End [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang