Hari ini hari wisudanya Adrian, Adrian sendiri sudah rapi begitu pula yang lainnya.
"Lo kenapa nggak pernah kasih tau dia?" Tanya Bimo berbisik, matanya memandang kearah Arjuna.
"Bukan wewenang gue," jawab Adrian.
"Lo gila, ya? Lo nggak kasian sama dia?" Tanya Bimo tak habis pikir.
"Gue kasian, tapi gue juga nggak ada hak ngasih tau apapun. Gue juga udah janji," lirih Adrian tak ingin suaranya terdengar.
"Gue nggak tau mau gimana menyikapi apa yang udah lo lakuin ini, tapi gue cukup kecewa, Yan." Bimo menjauh, menghampiri teman-temannya yang lain.
Adrian membuang nafasnya kasar, ia tahu apa yang ia lakukan selama ini menyakiti sahabatnya, tapi ia pun tak bisa melakukan hal apapun. Adrian adalah laki-laki dengan pendirian tegas, janji yang ia ucapkan akan selalu ia pegang teguh. Apapun itu, ia akan menepatinya.
Setelah perbincangan singkat nan serius antara Adrian dan Bimo yang hanya di ketahui keduanya. Kini, mereka sudah berada di gedung mewah Stanford University. Megah sekali, membuat Arjuna dan yang lainnya memandang kagum gedung tersebut.
Pantas saja Stanford masuk dalam sepuluh besar kampus terkenal dunia, tempatnya saja sudah menggambarkan kemegahannya, belum lagi dengan sistem belajar disini. Memang tak bisa di ragukan, hanya orang-orang berduit dengan otak mumpuni sajalah yang mampu.
Tempat wisuda di adakan di lapangan Stanford, semua siswa berkumpul di tengah lapangan dan para keluarga berada di kursi penonton. Arjuna dan yang lainnya mendapatkan kursi di barisan akhir, maklum saja mereka datang agak lambat tadi.
Saat nama Adrian di sebut, semua orang bertepuk tangan, dan Johan yang paling heboh, membuat malu Arjuna dan Devan yang duduk di sebelahnya.
"Keren banget Adrian, gue bisa nggak ya berdiri di sana?" Tanya Johan sambil memandang iri kearah Adrian yang masih berada di atas panggung.
"Ngimpi aja sana," serkas Devan membuat Johan mencebikkan bibirnya.
Sementara Bimo, ia sedari tadi hanya mengamati satu orang yang sedari semalam selalu menjadi pikirannya. Dan begitu nama perempuan tersebut di panggil, Arjuna langsung terkesiap. Membelalak kget hingga membuatnya berdiri.
Di lapangan sana, berjalan seorang perempuan yang sudah mengenakan baju wisuda dengan anggunnya. Ia terlihat cantik dan semakin memesona dengan wajah yang kini terlihat lebih dewasa.
Dia, Nashwa Hanindya.
Perempuan yang membuat Arjuna berdiri kaget memandanginya dari atas sana. Sementara Devan dan Johan, kedua laki-laki itu juga nampak kaget, terkecuali Bimo.
"Ar, itu beneran Nashwa?" Tanya Johan melongo.
"Itu Nashwa, gue yakin banget." Bukan Arjuna yang menjawab, melainkan Devan.
"Nashwa ..." lirih Arjuna dengan mata berkaca-kaca, ia memandangi perempuan tersebut tanpa jeda sedikitpun.
Rasanya Arjuna ingin berlari ke bawah, menarik tangan perempuan tersebut dan memeluknya erat. Mempertanyakan tentang kepergiannya yang tanpa kabar. Arjuna rindu, rindu sekali perempuan tersebut.
Nashwa tersenyum bahagia setelah turun dari panggung, ia langsung berjalan kembali menuju kursinya. Setelah duduk, ia mengedarkan mata kearah penonton, tersenyum bangga sambil memegang toganya kearah sepasang suami istri yang kini juga membawa Anaknya. Dia Bara dan Istrinya, laki-laki yang sudah ia anggap seperti Abang sendiri.
Laki-laki itu membalas senyumnya haru, begitu pula Istrinya. Nashwa kembali mengedarkan pandangannya dan berhenti kearah seorang lelaki yang kini tengah berdiri juga menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjunashwa (END)
Подростковая литератураKarna suatu insiden kecil yang pernah terjadi waktu mereka kelas sepuluh, Nashwa begitu menghindari yang namanya Arjuna Dareen Pradipta. Laki-laki tampan, idola seantero sekolah bahkan hingga luar sekolah. Laki-laki yang begitu di segani, banyak yan...