31. Pergi

818 20 0
                                    

Eva diam membisu tak bersuara. Wajahnya tampak tak bersemangat dari biasanya. Ada gurat kecewa yang begitu kentara terlihat. Ia sedang duduk di balkon kamar rumah mertuanya dengan sang suami yang terus mencoba merayunya.

"Sayang, ayolah." Jericho mencoba menggenggam tangan Eva, namun dengan cepat juga Eva menepisnya. Jericho sungguh frustasi menghadapi istrinya dan bagaimana cara membujuknya.

Ya, ini gara-gara Jericho yang tiba-tiba meminta izin akan ke Belanda kembali karena ada masalah perusahaan, 'katanya'. Kecewa? Tentu. Padahal saat ini Eva sedang mengandung buah hati mereka. Tentu ia juga ingin merasakan bagaimana dimanja sang suami, bukan malah ditinggal pergi.

Namun dengan segala bujukan dan rayuan akhirnya Jericho mendapatkan izinnya. Ia juga merayu Eva agar untuk sementara tinggal di rumah orang tuanya agar aman ketika ada masalah, Jericho tahu ayahnya bisa mengatasi hal itu jika terjadi. Namun, ya, dampaknya seperti sekarang, dari tadi Eva hanya diam dan bersikap dingin padanya.

"Katanya kau mau pergi sekarang, kenapa masih di sini?" Dingin Eva.

Glek!

Jericho memang mengharapkan Eva membuka suara dari tadi. Namun bukan dengan nada dingin seperti ini. Ia jadi merasa bersalah meninggalkan Eva seperti ini, namun juga mengabaikan masalah di Belanda tak bisa dianggap remeh.

Akhirnya ia berdiri dan mengecup kening Eva singkat, untung saja tak ada penolakan. Ia segera keluar dari kamar, berniat menemui ayahnya untuk membicarakan masalah kepergiannya yang sangat mendadak ini.

"Eva masih marah?" Tanya Amara saat Jericho keluar kamar dan mendapati wajah lesu putranya itu.

"Hm."

Amara sebenarnya senang Eva yang tengah hamil tinggal di sini selama anaknya itu pergi menyelesaikan perusahaan. Huh, tidak tahu saja ia tentang masalah yang sebenarnya. Kalau ia tahu, mungkin ia juga tak akan mengizinkan Jericho pergi.

"Daddy dimana?"

"Di bawah."

***

"Jadi Julian kembali berulah setelah dua tahun lalu?"

"Ya." Jawab Jericho singkat.

Jericho sudah menceritakan masalah Julian pada Thomas. Hal itu membuat pria paruh baya itu memijat pelipisnya, pusing. Padahal ia kira Julian sudah melupakan dendamnya setelah dua tahun mereka hidup tenang. Namun ternyata?

"Aku akan ke sana menyelesaikan semuanya sebelum dia datang ke sini dan mencelakai orang-orang yang ku sayang." Sahut Jericho.

Terkesiap. Thomas menatap Jericho tajam. Apa yang dia ucapkan? Urusan Julian adalah karenanya, Jericho sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ini. Ia tak mungkin mengorbankan putranya itu hanya karena kesalahannya.

"Apa yang kau katakan?!" Tekan Thomas.

"Keputusanku sudah bulat, Dad! Aku akan ke sana sekarang!"

Lagi-lagi Thomas terkesiap. "Apa kau gila, hah? Kalau kau tak memikirkan dirimu sendiri setidaknya pikirkan Eva. Ingat, Jer! Dia sedang hamil!"

Jericho terdiam sejenak sebelum menarik nafas panjang lalu kembali bersuara. "Aku akan tetap ke sana!"

"Tapi Julian itu sama sepertimu, Jer. Aku takut kau--"

"Lalu apa yang harus kulakukan?" Sela Jericho. "Kalau Daddy yang ke sana sama saja membunuh diri. Julian orang yang licik, Dad."

"Tapi--"

"Ku mohon, Dad. Biarkan aku yang menyelesaikan semuanya." Menjeda sejenak. "Aku titip Eva di sini. Jangan biarkan dia terluka, aku takut Julian juga akan mencelakai nya." Lirih Jericho.

Akhirnya dengan berat hati Thomas mengangguk. Thomas bisa saja ke sana dan menyelesaikan urusan dia, tetapi sekarang ia tak muda lagi, Julian lebih hebat darinya. Hanya Jericho yang bisa melawannya. Ia percaya putranya itu bisa mengatasi Julian.

Jericho melangkah kembali ke kamarnya. Menemui Eva sebelum pergi walau istri tercintanya itu masih marah kepadanya.

"Sayang!"

Eva tak mengindahkan panggilan Jericho, ia hanya duduk di atas kasur menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan lutut yang ia peluk erat, tak mau melihat sang suami.

Berjalan mendekati istrinya, Jericho menyentuh tangan Eva. Hendak mencium tangan itu, namun Eva lagi-lagi menolaknya dan menepisnya kasar. Hal itu sukses membuat Jericho sedih.

"Hiks..."

Jericho terkesiap mendengar isak tangis Eva, meski pelan namun terdengar jelas. Dengan segera ia menarik Eva memaksa memeluknya.

Eva semakin berontak tak mau dipeluk suaminya, namun pada akhirnya ia luluh juga. Eva menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Jericho dengan sesekali memukul dada pria itu, menyalurkan sakit nya. Entahlah, mengapa ia sekarang menjadi cengeng?

Hati Jericho seakan teriris melihat Eva yang seperti ini. Sungguh, tak ada niatan membuat Eva sedih, namun apalah daya jika ini memang harus terjadi.

"Jahat!!"

"Maaf." Bisik Jericho.

Tangisan Eva mereda. Meski masih dalam pelukan suaminya, memeluk ia erat tak mau melepasnya pergi. "Kau benar ingin pergi?" Tanya Eva lirih.

"Hm."

"Berapa lama?"

Diam tak bisa menjawab. Jericho pun tak tahu kapan ia akan pulang, karena firasatnya mengatakan kali ini tak akan mudah untuk menyelesaikan ini semua.

"Secepatnya."

Eva diam. Hatinya risau dan khawatir kepada suaminya ini. "Boleh aku minta sesuatu padamu?"

Jericho tersenyum. "Kenapa harus minta? Apapun aku akan kasih padam selama aku mampu."

"Aku mau saat kau pulang nanti harus dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada luka sedikitpun. Bisa?"

Jericho sedikit tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan sang istri. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan Eva tahu alasan sebenarnya mengapa ia kembali ke Belanda?

"Aku tahu kau ke sana bukan ngurus perusahaan yang ada masalah, pasti karena alasan lain bukan?"

Ya, bukan tanpa alasan ia tak mengizinkan suaminya kembali ke Belanda. Hanya saja Eva takut ia kenapa-kenapa. Ia tahu mana yang ada masalah perusahaan atau yang ada masalah lain. Dari raut cemas suaminya saja ia dapat menebak kalau ada masalah besar.

"Aku tidak akan bertanya masalah apa yang kau hadapin di sana, aku hanya mau minta kau ketika kembali jangan kenapa-kenapa. Bisa, kan?" Tekan Eva memaksa suaminya berjanji.

Entah harus menjawab Ya atau Tidak, Jericho bimbang harus pilih yang mana. Ingin berkata Ya, takut ingkar. Ingin berkata Tidak, tak mau menyakiti Eva yang pada akhirnya akan membuat istrinya sedih. Sekarang mana yang harus Jericho pilih?

"Kumohon!" Tatapan Eva memelas dengan wajah memohon.

Runtuh sudah, dengan berat hati Jericho mengangguk. Walau rasanya ia ragu memenuhi permintaan sederhana Eva.

"Janji?"

"Janji."
_________________________________________

To be continued.

Siapa nih, Julian?....

Hati-hati, ya. Episode selanjutnya mungkin ada adegan action. Mungkin juga, sih...

Next...

The True Love [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang