49. Permintaan Maaf

773 25 4
                                    

Sinar sang surya menyambut pagi dengan keterangannya. Cahaya sinarnya memasuki celah jendela kamar rumah besar membuat seseorang di dalamnya terganggu dan terbangun dari tidurnya yang begitu lelah.

Wajah Eva begitu sayu, matanya masih agak membengkak karena terlalu banyak menangis. Ia bangun dari sofa yang menjadi tempatnya tertidur semalaman. Matanya melirik sekeliling kamar berharap sang suami juga ada di sana. Namun hasilnya nihil. Tidak ada siapa-siapa.

Jericho-nya tidak pulang.

Air mata kembali mengalir dari mata indahnya mengingat waktu itu. Suaminya yang begitu marah dan kecewa. Bahkan suaminya itu sama sekali tidak pulang dan membiarkan Eva terlarut dalam penyesalan yang begitu dalam.

Eva kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri yang begitu altruisme kepada orang lain dan tidak mementingkan dirinya sendiri dan juga perasaan suaminya karena kelakuannya. Terlebih semua yang dikatakan Zevanya ternyata hanya hasutan semata. Eva semakin menyesal dibuatnya.

"Jangan sedih sayang!"

Tersentak. Eva menoleh karena ternyata ibu mertuanya ada di kamarnya entah sejak kapan ia tidak sadar itu. Terlalu banyak melamun dan meratapi penyesalan dirinya membuat dirinya tidak terlalu memperhatikan hal di sekitarnya.

Amara tersenyum seraya ikut duduk di samping Eva. Tangannya mengusap bekas air mata dari mata menantunya. Ia tahu apa yang terjadi sebenarnya pada rumah tangga anaknya yang sempat tergoncang. Ia juga tahu bahwa Eva juga terlibat dalam hal itu.

"Maafin Eva Ma. Ini gara-gara Eva. Jericho marah--"

"Shhttt! Jangan salahin diri sendiri, sayang! Ini bukan salah kamu," Amara memeluk Eva menenangkan menantunya.

"Gimana kalo Jericho gak pulang, Ma?"

Tangan Amara mengelus kepala Eva. "Jangan ngomong kayak gitu, Va. Mama tahu anak Mama. Dia cuma marah sebentar, entar juga pulang,"

"Tapi--" jari telunjuk Amara ia simpan di depan bibir Eva menyuruhnya tidak boleh berucap demikian.

"Percaya sama Mama. Dia pasti pulang,"

Lama mereka dalam posisi saling berpelukan seperti itu menyalurkan kehangatan untuk salah satunya. Hingga tiba-tiba suara ketukan pintu menyadarkan mereka membuat ibu mertua dan menantunya itu menoleh.

"Maaf Nyonya, Nona. Di depan ada tamu," Kata Laras memberi tahu majikannya bahwa ada yang bertamu.

"Siapa, Bi?"

"I-itu Non--" Laras tampak gugup mengucapkan nama orang yang ingin menemui mejikannya.

"Nona Zevanya."

***

"Mau apa kau ke sini?"

Glek!

Zevanya menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan bernada sinis dari Amara. Tampak sekali wanita paruh baya itu sangat tidak menyukai Zevanya. Padahal saat pertama kali bertemu wanita itu begitu ramah padanya. Ah, kenapa harus heran? Tentu saja sudah pasti itu karena kelakuannya beberapa waktu lalu.

Wanita itu menundukkan kepalanya di depan Amara tidak berani menatap mata wanita paruh baya itu. Malu sekali ia rasa berhadapan dengan ibu dari Jericho sekaligus mertua adiknya. Andai saja bukan karena rasa bersalah dan desakan Daniel, mungkin Zevanya tidak akan datang ke sini.

"Maaf Tante, Zee cuma mau--"

"Mau menghasut menantuku lagi?" Sambar Amara. Tatapan matanya begitu tajam melihat wanita yang menjadi kakak dari menantunya. Ia tidak peduli sekalipun wanita itu adalah anak dari sahabatnya. Yang jelas saat ini Amara begitu emosi dan marah pada wanita itu.

The True Love [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang