Di sebuah ruangan salah satu rumah sakit begitu sangat hening padahal di dalamnya banyak sekali orang namun, tidak ada yang menyahut atau berkomentar apapun persis seperti di kuburan. Sepi, dan menyedihkan.
Rasa amarah dan kekecewaan pada akhirnya luruh juga melihat keadaan wanita yang kini menunduk menyembunyikan air matanya di atas brankar rumah sakit. Semua rasa yang dirasakan berganti dengan rasa sakit yang teramat dirasakan mengetahui fakt yang lebih mengejutkan.
"Kenapa kalian diem aja?" Zevanya membuka suara menatap satu persatu keluarganya yang datang. "Kenapa gak marahin, Zee?" Ia tahu kedatangan mereka untuk memarahinya dan mengutuki dirinya tentang kejadian enam tahun lalu.
"Mama Papa? Ayo pukul Zee. Zee salah," Zevanya menatap Adit dan Sarah.
"Va?" Kali ini tatapannya beralih pada Eva dan suaminya yang jujur saja Zevanya tidak menampik masih ada sedikit rasa ketika melihatnya. "Kenapa kamu juga ikut diem kayak mereka?"
"Ayo! Marahin, Zee! Zee orang gila yang bisa-bisanya buang anak Zee, kan? Ayo cepat! Kenapa diem?" Zevanya terkekeh gentir. "Sekarang Zee sakit. Zee positif HIV, kalian pasti seneng--"
"ZEVANYA!!" Vania memeluk Zevanya diiringi isak tangis menyeruakkan rasa sakit yang ia rasa. Semua amarahnya lenyap begitu saja melihat dan mengetahui keadaan sebenarnya dari anak sulungnya.
Begitu sakit sekali rasanya, rasa penyesalan karena belakangan ini tidak terlalu memperhatikan Zevanya begitu sangat dirasakan Vania, Alex, Sarah, dan Adit. Pada awalnya mereka hanya ingin memberi pelajaran pada anak sulung mereka, namun tidak disangka akhirnya malah seperti ini. Tuhan lebih dulu memberi pelajaran.
Sedari tadi Eva hanya menangis terisak tanpa suara di pelukan suaminya karena kakaknya ini. Wanita itu sebenarnya sudah curiga kalau Zevanya memang terinfeksi virus itu sejak Eva berkunjung ke rumah ibunya dan kakaknya itu masih tinggal di sana. Tetapi Eva selalu menyingkirkan dugaannya karena tidak memiliki bukti.
Jericho tidak berhenti mengelus surai panjang Eva menenangkan istrinya yang begitu sedih. Ia sebenarnya tidak terlalu mengizinkan Eva datang kesini menemui kakaknya. Selain karena Jericho malas bertemu dengan Zevanya, ia juga tidak mau Eva bersedih. Dan sekarang? Terbukti bukan Eva sedih.
"Dasar anak nakal! Kenapa kamu gak cerita tentang semua ini sama Mama?! Kamu udah gak nganggep Mama lagi, hah?!" Radang Vania.
"Maaf. Maafin Zee... Hiks,"
***
"Udah berapa bulan, Va?"
Suasana mulai kondusif. Tidak seperti semula yang hanya dilingkupi kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah. Orang-orang menampakkan wajah bahagia agar Zevanya tidak terlalu memikirkan apa yang dihadapinya.
"Nginjak delapan minggu, Aunty Zee!" Jawab Eva menirukan suara anak kecil.
Zevanya terkekeh mendengarnya, ia turut bahagia mengetahui fakta itu. Matanya melirik pria di samping Eva yang sejak tadi tidak bersuara, hanya diam dengan tangan memeluk istrinya erat. Zevanya menghela nafas berat, ia tahu pria itu masih marah bahkan bisa jadi membenci dirinya.
Tidak menampik Zevanya katakan masih cinta pada si adik ipar. Namun sekuat tenaga ia menahan dirinya agar tidak kembali berbuat hal yang tidak diinginkan. Seharusnya Zevanya sadar, apalagi saat ini Tuhan sudah menghukum dirinya dengan penyakit mematikan ini.
Katakan Zevanya egois. Memang ya, Zevanya egois karena masih mengharapkan cinta dari Jericho padahal sudah ada pria lain yang mencintai dirinya sepenuh hati dan bahkan sudah terikat anak dengan Daniel. Tetapi Zevanya tidak bisa membohongi hatinya.
Terlebih itu semua. Sekarang Zevanya tidak terlalu peduli lagi apa maunya hati. Karena yang sekarang lebih ia inginkan adalah menikmati sisa hidup bersama Cella. Putri semata wayangnya yang mungkin akan ia tinggalkan luka lagi setelah hampir sembuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The True Love [Completed]
Hành độngSakit hati adalah konsekuensi yang harus diterima saat jatuh cinta. Seorang gadis bernama Evana Adelia itu menjadi salah satu korbannya. Kekasih yang teramat dicintainya itu mengkhianatinya membuat Eva memutuskan kembali ke negara asalnya dan mencob...