39. Sekretaris Baru

653 21 12
                                    

Dua bulan kembali berlalu.

Keadaan Eva masih sama belum ada tanda-tanda akan sadar. Masih terbaring lemah di atas brankar putih dengan dipenuhi seluruh alat medis di tubuhnya yang membuat dia bertahan hidup. Entah sampai kapan dia akan terus seperti itu.

Ceklek!

Pintu terbuka, menampakkan wajah tampan pria dengan senyum lebar di wajahnya meski hatinya seakan teriris karena tak ada respon sama sekali dari istri tercintanya yang masih betah terbaring itu.

Jericho perlahan mendekat, menyimpan bunga mawar merah kesukaan Eva di samping brankar. Ia menggenggam tangan pucat itu. Senyum lebar yang tercetak di bibirnya berganti dengan senyum gentir, tak kuasa melihat Eva-nya seperti ini.

"Mau sampai kapan kau seperti ini, sayang?" Tanya Jericho lirih. "Aku tak kuat, sungguh. Aku tak tega lihat dirimu terus terbaring seperti ini tanpa tau kapan bangun."

"Tapi tak apa. Aku akan tetap menunggumu bangun, sampai kapanpun itu. Asal kau jangan pernah pergi tinggalkan aku." Pintanya pilu meski lagi-lagi tak mendapat respon sedikitpun. Jericho menunduk menyembunyikan air mata yang sialnya lagi-lagi mengalir membasahi pipinya.

Ceklek!

Jericho dengan segera menegakkan kembali badannya lalu menyeka air matanya cepat saat seseorang membuka pintu ruang rawat Eva. Jericho segera menoleh ke arah sang pelaku. "Mama?"

Amara menatap sendu pada putranya yang benar-benar terlihat sangat berantakan. Bekas air matanya masih bisa Amara lihat dari sudut mata putranya yang basah tanda ia habis nangis. Sakit sekali melihat keadaan putranya yang biasa terlihat tegar menghadapi masalah kini sangat rapuh jika yang menjadi urusan adalah istrinya.

Walau tak menampik Amara juga merasa bersalah membuat Eva seperti ini. Dia yang gagal menjaga menantunya dengan baik. Andai saja waktu itu Amara datang tepat waktu dan menyelamatkan Eva, tak mungkin hal ini akan terjadi.

Perlahan langkahnya mendekati putranya dan memeluk ia erat. Wajahnya menengadah menumpukan dagunya di pundak putranya itu dengan air mata yang tiba-tiba meleleh.

"Menangislah, nak! Tunjukkan kerapuhanmu di depan Mama. Jangan berpura-pura tegar saat hati kamu hancur."

Jericho menenggelamkan wajahnya di ceruk leher ibunya dan memeluk wanita hebat itu dengan erat. Ia menangis, terisak tanpa suara dalam pelukan hangat ibunya. Jericho tidak peduli lagi akan rasa malunya sebagai seorang pria dewasa yang menangis. Yang ia butuhkan hanyalah kekuatan. Kekuatan dari ibunya.

"Kenapa rasanya sesakit ini, Ma?"

"Aku tak kuat lihat Eva kayak gitu."

"Kenapa bukan aku saja yang seperti itu? Kenapa harus Eva?"

"Kenapa aku harus menanggung beban berat seperti ini?"

"Apa yang harus aku katakan kalau Eva bangun dan menanyakan calon anak kami?"

"Aku gagal jadi suami. Aku tak bisa jaga istri aku sendiri."

Amara rasanya tercekat mendengar semua keluh kesah putranya yang begitu rapuh. Amara tak bisa mengucapkan kalimat. Ia juga merasakan sakit yang sama dengan anaknya ini meski anaknya itu kebih sakit darinya.

"Ini takdir, Nak. Ini sudah takdir. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kamu gak salah."

***

Jericho duduk di kursi kebesarannya dengan wajah yang begitu dingin dan datar nyaris mayat hidup. Di hadapannya terdapat tumpukan berkas yang menggunung saking banyaknya karena sudah hampir beberapa bulan ini ia tinggalkan.

The True Love [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang