70. D-Day

29 4 0
                                    

Rama

Pagi-pagi sekali, di saat deretan rumah masih gelap karena penghuninya masih tertidur pulas, aku membelah dinginnya dan gelapnya fajar yang hanya terbantu dengan lampu remang jalan dan lampu sorot motor. Suara kaset qiroah sayup-sayup terdengar dan suara deru motor menjadi backsound fajar yang menegangkan.

Semakin jauh aku meninggalkan rumah, semakin kuputar juga tuas gas motor. Hati selalu mengeluarkan kata-kata sugesti positif, "tenang, Rama. Papi Lo pasti nggak kenapa-kenapa. Papi lo sehat!"

Setelah beribu-ribu kalimat sugesti aku keluarkan, sampailah aku di rumah sakit. Langsung saja aku olahraga lari pagi itu. Rintangan menghindari beberapa orang dan petugas medis berhasil aku hadapi hingga sampai di depan pintu ruangan Papi dirawat.

Aku menormalkan napasku dulu sebelum mendorong gagang pintu sedingin tanganku yang berkeringat dingin.

"Rama!"

"Mami!"

Begitu masuk, Mami memelukku berderai air mata. Aku biarkan Mami menangis membasahi jaket bomber sembari menepuk-nepuk punggungnya memberikan kekuatan.

"Papi, Rama..., Papi..."

"Iyaa, Mami. Tenang... Papi pasti baik-baik saja kok. Mami tenang yaa..." ucapku selembut mungkin menahan air mata.

Aku alihkan pandangan ke Papi yang sekarang tertidur pulas— mungkin efek obat tidur. Tadi, Mami bersusah payah berkata di telepon. Hingga Mami berhasil berkata yang membuat mataku melek.

"Papi kejang-kejang, Rama..."

Kejadian dulu terulang lagi. Nenek yang begitu aku sayangi meninggal saat kejang-kejang. Sontak aku kaget. Aku tidak ingin kehilangan siapapun lagi.

Pelukan aku lepaskan. Menatap mata sayu dan sembab Mami. Aku memegang kedua pundak Mami. "Mi, Papi baik-baik aja, pasti! Kita harus percaya, dengan begitu Papi memiliki semangat hidupp!"

Mami menyedot ingus lalu menampol wajahku membuatku terkekeh. "Apaan sih, Ram. Sok-sokan udah dewasa." Mami tertawa. "Jangan lupa bawa cewe ke Papi. Awas lho kalo keinginan Papi belum tercapai sebelum pergi."

Aku gelagapan merespon pernyataan terakhir Mami.

"Mami pulang dulu ke rumah. Bersih-bersih, pasti belum mandi kan? Aku tebak juga belum makan pasti. Kak Nafisya pulang tadi malam, masak buat kita," ucapku akhirnya.

"Mana makanannya?" tanya Mami memperlihatkan telapak tangannya.

"Ya di rumah lah, Mi."

"Mami kira dibawain. Jebule*!"
*Ternyata.

Setelah itu, Mami keluar dari ruangan mau pulang. Aku menghampiri brankar Papi, duduk di kursi dekatnya.

"Pi, sehat-sehat selalu yaa..." ucapku memegang tangan hangat Papi. "Tunggu Rama sukses, bisa ngebahagiain Papi Mami, dan balas segala yang Papi Mami berikan ke Rama."
"Dan... lihat Rama nikah."

Sebagai penutup, aku mencium punggung tangan Papi untuk pertama kalinya. Dulu aku selalu gengsi mengatakan hal geli seperti tadi. Salah satu alasannya karena menurutku Papi terlalu kejam padaku udah menjodohkan anaknya di usia muda. Selain itu, di mataku Papi adalah seorang yang galak, dan tidak bisa mengekspresikan perasaannya, wajahnya selalu datar. Hingga teman laki-laki di rumah adalah Dimas sebelum Kak Nafisya menikah dengan Kak Ali.

Karena tidak akan ada yang tau aku mencium tangan kasar dan berkerut Papi, aku melakukannya.

"Panjang umur dan sehat selalu," ucapku seiring dengan air mataku yang berhasil keluar dari persembunyiannya.

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang