10. Cerita Liana

37 7 0
                                    

Happy reading

****

Hari ini hari Senin. Setelah upacara, aku dan Liana pergi ke kantin. Sedangkan Bunga dan Mela ada kumpul ekstra mading.

"Rah.. aku nggak sabar mau nonton basket nanti."

Berita pertandingan basket hari ini sudah tersebar seluruh sekolah. Dan sampai hari ini, pertandingan basket itu menjadi trending topik pembicaraan seluruh sekolah. Begitupun juga Liana.

Mendengar pertandingan basket, membuatku teringat dengan perkataan Raihan. Padahal aku sudah bodo amat padanya. Tetapi kenapa selalu ada dia.

"Rahma.." Liana menggoyangkan lenganku. Tak sadar jika aku daritadi melamun.

"Astagfirullah..."

Mata Liana menyipit. "Mm.. mikirin siapa hayo?"

"Nggak, cuma akhir-akhir ini seseorang masuk ke pikiranku tanpa permisi"

Tawa Liana seketika meledak. Emang apa yang lucu, perkataan ku ada yang salah?

Tawa Liana mereda. "Emang siapa yang berani masuk di pikiranmu tanpa permisi?"

"Itu.."

"Kak Raihan.. kak Raihan, Rah." Liana menyenggol lengan ku. Dia menunjuk ke arah Raihan dan teman-teman nya yang sedang berjalan ke arah kantin. Tapi dia bilang kak? Raihan kakak kelas?

"Liana, kamu bilang kak Raihan?"

"Iya.. kamu nggak tahu? Sini ya aku tunjukkin. Yang berjalan di depan bagian kanan itu kak Raihan, terus sebelahnya yang tinggi itu kak Alif terus yang.."

"Aku tanya Raihan itu kakak kelas kita?"

"Iya. Dia itu kakak kelas."

Bahuku menurun. Aku hampir saja menjatuhkan rahangku. Ternyata dia kakak kelas. Padahal jika aku bertemu dengannya, aku memanggil namanya tidak pakai embel-embel kak. Memalukan.

Tapi ada seseorang yang menurutku familiar. Seseorang yang membuatku teringat dengan masa lalu. Orang itu juga menatapku. Tapi dengan tatapan datar.

Aku menyenggol lengan Liana. "Li coba kenalin satu persatu dari mereka."

"Tadi mau dikenalin malah diputus."

"Iya iya maaf. Kali ini nggak akan kuputus."

"Janji lho."

"Iya iya cepat."

Liana menunjuk ke arah pojok kantin dimana Raihan.. eh kak Raihan dan teman-temannya berada. Sekarang mereka sudah duduk  di kursi kantin. "Yang lagi main ponsel itu kak Alif, dia itu orangnya memang cuek, dingin, jarang senyum untung ganteng. Terus yang lagi ngobrol itu kak Raihan dan kak Ryza. Dua orang itu emang orangnya enak diajak ngobrol dan murah senyum. Yang paling penting nih Rah, mereka itu pada ikut ekskul basket dan ganteng Rah.." ucap Liana dengan semangat '45.

Oh.. namanya Alif. Tapi namanya kok beda dengan orang saat itu, padahal mukanya sama.

"Rahma balik kelas yuk. Bentar lagi bel," ucap Liana pelan. Terus matanya melirik ke arah pojok kantin. Ternyata daritadi mereka melihat aku dan Liana.

"Aku gak nyaman. Gak baik buat kesehatan jantung ku." Lanjutnya.

Sebenarnya aku juga risih dilihat terang-terangan begitu. Tunggu apa aku salah lihat? Baru saja kak Alif tersenyum padaku.

"Iya Li ayo balik."

"Hey.. adik-adik kelas hobi ngomongin kita."

"LARI..."

Aku dan Liana lari dari kantin yang sangat panas. Benar kata Liana tak baik buat kesehatan jantung. Bodo amat siapa yang teriak tadi. Pokoknya memalukan.

****

Aku dan Liana berlari. Aku tak tahu arah tujuan kami. Aku tinggal mengikuti arah Liana. Hingga kami tiba didepan perpustakaan dan masuk ke dalam. Setelah duduk di bagian pojok -- tempat favorit kami -- kami mengatur nafas akibat lari tadi.

"Rahma aku mau ngomong serius," ucap Liana setelah mengatur napasnya.

Aku menoleh padanya. "Apa, Li?"

"Tapi kamu nggak boleh memotong perkataanku, janji?" Liana mengangkat jari kelingking nya.

Sebenarnya ada apa ini? Tumben sekali dia mau ngomong serius. Biasanya semuanya dibuatnya hanyalah guyonan belaka.

"Oke." Aku menyatukan jari kelingking ku pada Liana.

Liana mengambil nafas terlebih dahulu seolah dia mau melepas beban yang dia pendam. Setelah itu dia menengok ke kanan, kiri, belakang, depan. Aku mengernyit tidak mengerti.

Liana mengambil nafas nya lagi membuat ku ingin menarik ucapanku tadi. "Jadi sejak kelas sepuluh, aku sering memerhatikan kakak kelas sebelas. Aku menjadi penggemar rahasianya. Setiap hari, aku selalu mengirimnya sebuah surat ke dalam lokernya. Tetapi tidak ada satupun yang dibalas." Liana berhenti sejenak dan tersenyum miris.

"Karena tidak terbalasnya surat itu, aku semakin gencar untuk mendekatinya. Setiap dia olahraga, aku selalu membawakannya minum. Tau apa yang aku lakukan untuk memberikannya minum?" Aku menggeleng. "Aku menaruh minuman itu ke dalam lokernya. Sungguh aku tidak punya nyali jika untuk sekedar menyapa padanya. Aku selalu menunggu di sebrang loker duduk di lantai. Jika ada orang lewat aku bersembunyi di samping loker. Tetapi apa yang terjadi saat dia datang ke lokernya? Dia hanya membaca suratnya lalu di remas dan dibuang ke tempat sampah. Sedangkan minumannya diberikan pada teman-teman nya." Liana berhenti lagi lalu mengusap matanya. Aku baru tahu jika dia menangis. Aku memegang kedua tangannya. Bukannya berhenti malah semakin jadi. Bahunya bergetar diiringi isakan kecil. Aku mulai khawatir padanya. Aku tidak menyangka jika dia pernah berjuang untuk mendapatkan laki-laki yang disukainya.

"Udah, Li. Nggak usah diterusin kalau kamunya begini."

"Nggak, Rah. Kamu harus tahu. Aku bercerita gini malah membuat semua bebanku mulai hilang."

"Yaudah sekarang terusin."

Liana mengangguk sambil mengusap air matanya. Dia memegang kedua tanganku seolah ingin membagi kesedihannya. "Setelah melihat kejadian itu, aku tetap memberikan dia surat dan minuman. Kali ini aku menambahkan beberapa kue buatanku. Kadang-kadang jika aku tidak sempat membuatnya, aku beli pada bundamu. Dia tetap membaca suratnya lalu meremas nya. Tetapi kue nya dimakan. Sejak itu aku semakin semangat untuk membuat kue. Aku sangat senang. Setiap membuat kue, aku selalu terbayang-bayang dia memakan kue itu dengan lahap. Tetapi suatu hari saat aku pulang habis ekstra, aku melihat dia membonceng seorang perempuan. Perempuan itu bahkan seorang yang paling cantik sekolah. Ketua ekskul dance."

"Hatiku sangat hancur melihat keduanya berboncengan bersama bagaikan pasangan yang serasi. Mereka tersenyum bersama. Senyuman dia yang selalu ku impikan hanya untukku, kini hanyalah mimpi indah semata. Sejak itu aku berhenti untuk merecokinya. Aku berhenti mengirim surat, minuman, kue. Aku sudah mulai menghindari darinya. Tetapi karena tadi aku bertemu dengannya lagi, membuatku mengenang semua perjuanganku dulu."

Liana berhenti bercerita. Dia sudah tidak mengenggam tanganku. Dia mengusap air mata nya yang jatuh di pipinya. Sungguh ini kejadian jarang. Liana tak pernah menangis seperti ini. Dia selalu tersenyum, ceria. Walaupun ada yang mengejeknya. Semua dia anggap candaan. Dulu aku pernah menganggap Liana adalah seorang yang sangat santai, seperti tidak punya beban. Tetapi setelah mendengar cerita darinya aku baru tahu jika dibalik keceriaannya terdapat bekas luka yang mendalam di hatinya.

****

Tbc.

Seperti biasa ya tinggalkan jejak

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang