24. Tragedy In The Hospital

34 3 0
                                    

Assalamu'alaikum

Happy reading

*****

Setelah pertengkaran hebat tadi— termasuk tidak hebat sih— aku menjadi pusat perhatian seluruh sekolah. Ada yang berterima kasih padaku, tersenyum padaku, bahkan ada yang takut sama aku dengan langsung pergi dari hadapanku.

Aku sudah menunjukkan kepada seluruh orang bahwa aku bisa bertengkar—membela diri— Aku akui dulu aku tidak begini orangnya.  Yah nanti saja kubeeitahu saat waktunya sudah tepat.

Setelah 'bertengkar' tadi, bel masuk berbunyi membuatku tak jadi makan bakso. Padahal perutku sangat lapar. Tapi tak apa. Saat ini sedang free class. Bu Irma tidak masuk karena anaknya sakit, sehingga kami hanya diberi tugas merangkum dan mengerjakan soal yang ada di buku cetak.

Tetapi sepertinya, hanya segelintir orang yang mengerjakan tugasnya benar-benar. Yang lainnya bermain ponsel atau menyalin tugas milik yang sudah.

Tugasku sudah selesai. Liana dan Mela menyalin tugasku, Bunga membaca novelnya. Bunga sempat tak percaya aku dapat berbicara yang menurutnya sangat menyeramkan. Padahal menurutku gaya bicaraku biasa aja, hanya aku pake lo-gue. Dan aku sedikit menegaskan perkataanku.

"Keren banget, Rah." Liana tak henti-hentinya bilang begitu daritadi. Tugasnya sudah selesai. Bunga dan Mela masih takut padaku.

"Ehm… Rahma, a-aku masih—"

"Nggak usah takut denganku, Bung. Biasa aja. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi."

"A-aku nggak takut," ucap Bunga membela dirinya. "Aku masih shock. Ternyata kamu mengerikan juga orangnya kalau marah."

Aku tersenyum menanggapinya. "Chyara salah, harus diberitahu. Tapi aku kelewatan deh benarinnya. Nanti aku akan minta maaf padanya."

"No, no, no," ucap Liana dengan menggerakkan telunjuknya. "Kamu nggak usah minta maaf padanya. Kamu udah bener, udah deh nggak usah."

"Tapi—"

"Rahma…"

Rama datang dengan muka datarnya menghampiri aku yang duduk di kursiku. "Ada apa?"

"Lo tadi bertengkar?"

"Nggak."

"Jawab bener-bener, Rahma. Gue serius," ucap Rama yang sepertinya serius.

"Gue juga serius," ucapku dengan nada tak kalah serius.

Rama menghela nafas lalu mengusap wajahnya. "Lo tadi ikut-ikutan ngapain sih?"

"Ya emang ngapain kalo gue ikut-ikutan? Masalah sama situ?"

"Lo sekolah disini berapa tahun sih? Lo kan kenal tabiat Chyara gimana malahan ikut nentang sih?"

"Satu tahun hampir 6 bulan kayaknya, Ram gue sekolah disini."

Rama mengusap wajahnya lagi. Jujur, aku suka melihat dia frustasi begini. "Ada yang sakit nggak?" tanyanya.

"Nggak."

"Jangan bohong، Rah."

"Gue nggak bohong."

"Coba gue lihat"

"Eh! Nggak us— awh…"

Akhirnya tanganku berhasil dipegang Rama— mungkin dicengkeram karena sakit banget.

"Tuh lihat tangan lo berdarah ini. Sakit kan?"

"Awh… iya sedikit." Aku memekik tertahan saat tangan Rama menguatkan pegangannya pada tanganku yang terbalut seragam sekolah.

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang