52. William Dan Sinta?

27 4 0
                                    

Assalamu'alaikum,

Happy Reading

Baca sambil putar lagu mulmed juga

*****

Rahma

"Huhh… lama banget sih! Kakak hampir jadi patung ganteng di sekolah kamu ini. Mana banyak cewek lagi disini, lebih parahnya masih aja genit sama cowok yang udah nikah. Mungkin muka Kakak nggak kelihatan udah nikah kali ya?"

Aku tidak menanggapi.

" Ngapain aja sih?!"

Aku belum menjawab pertanyaan Kak Rahmat lebih tepatnya malas menjawab.

"Muka kamu kok merah? Sakit ya? Demam, panas nggak muka kamu?"  tanya Kak Rahmat menyondongkan badannya ke aku. "Oh Kakak tahu, pasti blushing?"

"Apa sih! Panas ini, ngga usah mikir yang aneh-aneh!"

Aku memegang dadaku yang masih aja berdegup kencang. Makanya tadi aku lari di tangga biar Rama tidak tahu mukaku yang memerah.

"Pasti ada apa-apa ini. Nanti cerita," ucap Kak Rahmat.

Aku yang masih sensitif menatapnya nyalang dan berteriak. "Panjang ceritanya."

"Kakak punya waktu banyak di rumah."

Jika Kak Rahmat sudah berkata begitu, lebih baik aku diam saja alias menyanggupinya dengan terpaksa. Lalu aku teringat sesuatu.

"Kak, habis ini mampir ke toko buku ya?"

"Ngapain, buku, pensil lengkap kan? Jangan beli novel teruss. Hemat, dek."

Aku memutar mata malas. "Nggak! Semua itu lengkap, aku mau beli kanvas."

"Ooooo, yaudah ayo."

*****

Setelah sampai di toko buku, aku menghampiri di bagian alat lukis. Dan kesalahan yang aku buat adalah lupa bertanya pada Rama ukuran kanvasnya berapa. Itu membuat Kak Rahmat bosan hingga dia keluyuran mengitari toko tersebut. Kan aku jadi bingung sendiri mau memilih yang mana.

Menghembuskan nafas melanjutkan melihat-lihat kanvas kanvas berbagai macam ukuran yang berjejer rapi. Sekali-sekali, aku jongkok, berjinjit karena kanvas itu diletakkan di atas.

Arghh… kenapa harus sepi disini. Nggak ada yang aku mintai tolong.

"Eh?"

Aku yang saat itu sedang berjinjit karena melihat salah satu kanvas— yang menurutku cocok untuk kelompokku—berhenti berjinjit. Mengalihkan pandangan pada sosok yang membuat aku berhenti.

"Nih," Sosok tadi memberikan satu kanvas padaku yang langsung kuterima.

"Ada tugas melukis dari Bu Sri?" tanya dia.

Aku mengangguk, "Iya disuruh melukis salah satu flora."

Kak Alif mengangguk dan tersenyum. "Dulu gue juga disuruh melukis saat kelas sebelas."

"Oh ya? Kebetulan nih, enaknya ukuran kanvasnya berapa ya aku lupa tanya pada Bu Sri?"

"Yang lo bawa itu dah cocok kok buat pemula. Disuruh berkelompok kan?" Kak Alif kembali mengambil kanvas, "Pasti kelompoknya berjumlah 4 orang 'kan. Nih gue ambilin tiga lagi."

Ahh، kenapa Kak Alif harus perhatian sekali. Ini membuatku salah mengartikan kebaikannya. Tetapi memang, dia jarang baik dengan semua orang, malah bisa dibilang cuek sekali.

Ngomong-ngomong, Kak Alif masih suka sama aku nggak ya?

Lagi-lagi aku mengangguk lalu lengang. Tidak ada yang berbicara lagi maupun aku atau Kak Alif. Aku sibuk melihat-lihat kanvas, sedangkan dia di bagian cat minyak entah apa yang dilakukannya.

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang