22. Ketika Ayah bertemu dengan Rama

27 4 0
                                    

Assalamu'alaikum

Happy Reading


*****

"Rahma…"

Rama bingung saat Rahma pingsan di pelukannya. Dia duduk lalu meletakkan kepala Rahma di pahanya.

"Rahma… bangun." Rama menepuk-nepuk pipi Rahma dengan sapu tangan yang dibawanya. Melihat tak ada pergerakan, Rama mengeluarkan ponselnya untuk menelfon orang rumah membawa mobil.

Setelah menunggu selama 5 menit, Rama menggendong Rahma keluar dari ruang OSIS. Langkahnya terhenti saat dihadapannya ada sosok kurus, tinggi. Rama langsung melewatinya tanpa ada perkataan satupun.

Rama menggeram kesal karena dia lupa menyuruh orangnya  membawa mobilnya di dekat gedung ekstrakurikuler.

Rama menerobos hujan sambil menundukkan tubuhnya agar Rahma tidak kehujanan. Setelah meletakkan Rahma di jok belakang, Rama langsung tancap gas menuju rumah sakit.

Setelah sampai, Rama langsung berteriak meminta siap saja untuk menolongnya. Rumah sakit itu milik neneknya.

Setelah itu dia menelfon  Rahmat—karena hanya nomer itu yang dia miliki keluarga Rahma.

Rama mondar-mandir dan menggigit kukunya sendiri. Mulutnya tak berhenti mengucapkan istighfar agar dia tenang. Tapi tak bisa, hatinya tidak bisa tenang.

Plakk

Tepat saat dia berbalik, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Rama berhenti mondar-mandir sebaliknya dia berdiri sambil memegang pipinya. Wajahnya mengeras. Siapa yang berani menamparnya?

Wajahnya mengangkat, tangannya pun terangkat akan balas menampar. Tangannya menggantung di udara melihat sosok didepannya.

"Kamu apain putri saya hingga pingsan, hah?"

"Yah… udah. Dia malah yang nolongin Rahma."

Rahmat menarik tangan Andi—ayah Rahma—yang terangkat akan kembali menampar. Wajah Andi sangat merah, matanya pun melotot merah. Nafasnya memburu. Masih terbalut dalam kemeja dan sarung. Seperti habis sholat.

"Om?" Rama akan menjabat tangan Andi, tetapi segera tangannya dijauhkan. "Nama saya Rama, om. Temannya Rahma."

Andi menatap Rama dengan mata yang berkaca-kaca. Rahmat masih menenangkannya.

"Tenang ya, yah. Dia teman Rahma baik orangnya. Rahmat udah kenal kok sama dia."

Hal yang tak terduga bagi Rama. Andi memeluk tubuh Rama yang masih berdiri dengan kaku. "Maafin om ya. Tadi om sangat khawatir hingga kelepasan."

Setelah Rama sadar, Rama membalas pelukan  Andi. Setelah cukup, Rama melepaskan pelukan. Lalu memperkenalkan dirinya lagi.

"Kenalin om, nama saya Rama. Teman sekelas Rahma, calon menantu om."

"Hmm…"

Rama merutuk dalam hati dan menutup mulutnya yang terlalu licin ini. "M-maksud saya, saya teman Rahma, om. Gitu aja." Rama tersenyum kaku.

Andi tersenyum. Ditepuknya pundak Rama. Sekarang sudah tidak khawatir lagi. "Ayo duduk dulu."

Setelah semuanya duduk—termasuk  Rahmat dan  Lina—Andi berbicara. "Kamu udah sholat Maghrib belum? Karena kalau om terawang, kamu belum." Andi tertawa kecil termasuk Rama. Kekhawatirannya seketika menghilang melihat Rama yang memiliki selera humor.

"Iya, om. Saya belum sholat. Tetapi saya khawatir sama Rahma."

Andi menghela. "Khawatir boleh, anak muda. Tapi sholat lebih penting dari apapun. Besok saat di akhirat, amalan yang dihisab pertama adalah amalan sholat kamu. Nggak ada besok kamu ditanyai seberapa besar khawatirmu pada Rahma."

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang