23. Ratu Bully

30 3 0
                                    

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Happy reading

*****




Pagi Senin yang cerah. Aku sementara ini tidak membantu persiapan upacara mengingat badanku baru saja enakan. Gitu aja, aku harus berdebat dengan Bunda. Bunda hampir saja nggak ngizinin aku berangkat sekolah. Tapi setelah kubuktikan bahwa aku baik-baik saja, Bunda mengizinkanku.

Tidak berhenti disitu. Aku sekarang harus antar jemput Ayah. Jika tidak sempat jemput, kak Rahmat lah yang akan menjemputku. Bahkan aku disuruh keluar dari OSIS Bunda. Aku tidak bisa keluar dari sana—bukannya tidak menuruti tapi  Dari sanalah aku dapat menemukan diriku sebenarnya.

Bukan tanpa alasan aku ingin masuk sekolah. Sebentar lagi ulangan Akhir semester. Cepet banget kan? Aku juga nggak nyangka bakalan libur.

Ngomong-ngomong aku belum menceritakan Sinta kan? Sinta sekarang memiliki teman baru sekelasnya. Dia berteman dengan Chyara dan Vania. Aku sangat khawatir padanya. Pasalnya, Chyara dan Vania itu dulu ratunya bully SMA Nusa Indah. Itu dulu pas kelas X. Baru masuk saja sudah membuat kakak kelas nangis, kata Liana.

"Rah, Sinta nggak sama kamu lagi berangkatnya?" tanya Liana. Sekarang kami berada di lapangan sepak bola untuk upacara hari Senin.

"Udah nggak." Aku menggunakan topi. "Dia nggak suka naik motor. Takut kulitnya item."

Liana ber-oh. "Terus sekarang naik mobil?"

"Iya. Bareng Chyara dan Vania."

"Ha?" beo Mela dan Bunga. "Bareng mereka?" ucapnya sambil menunjuk sekumpulan anak perempuan yang dibelakang dekat pohon agar kulitnya tidak hitam.

"Iya."

"Aku kok takut Sinta salah pergaulan ya?"

"Iya. Kudengar mereka akhir-akhir ini sering bully anak kelas baru loh. Meskipun nggak didengar guru BK," ucap Bunga.

"Masak sih, Bung?" celetuk Liana. "Tau darimana? Jangan ngadi-ngadi deh."

"Li, kita kan ikut ekskul mading," ucap Mela. "Salah satu korbannya itu dari anak mading."

"Udah ah. Nggak usah ngomongin orang. Apalagi kita nggak tahu kebenarannya. Dosa tauk."

"Iya, Rah."

Setelah itu kami bicarakan hal yang lain. Misalnya nih, Liana yang membicarakan kak Raihan.

"Rahma, Lo  kok upacara sih? Harusnya lo nggak usah ikut aja," celetuk Rama di sela-sela omongan kami.

Aku ingin protes padanya, tapi aku ingat kalau dia yang menolong aku di ruang OSIS. "Gue udah sehat kok, Ram."

Rama geleng-geleng lalu pergi dari kami. Kupikir dia tidak akan kembali lagi, tetapi dia langsung kembali lagi dan membawa salah satu anak PMR.

"Ra, lo jagain Rahma ya. Soalnya dia baru saja sembuh," ucapnya pada Rara—anak PMR itu. Dia juga ikut ekskul musik.

"Siap, kak. Saya selalu jaga kak Rahma," ucap Rara memasang hormat.

"Nggak usah, Ram. Gue baik-baik aja kok," ucapku. "Rara, lo balik aja. Gue baik-baik aja kok. Nggak sakit."

"Jangan batu deh, Rah. Sekali ini aja turutin gue."

Aku menghembuskan nafas lalu mengangguk. Daripada harus berdebat yaudah aku terima aja.

"Sip. Gue tinggal dulu, ya. Eh Liana lo jangan disebelahnya Rahma, biar Rara aja."

"Ih… siap sih lo ngatur-ngatur gue."

"Sekali ini aja, Li."

"Suka-suka gue dong di sebalahnya siapa!" ucap Liana. "Lagian Rahma juga nggak mau kok."

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang