50. Semoga Saja

16 5 0
                                    

Assalamu'alaikum

Happy Reading



*****



"Kak, mau ke mana?"

Kak Rahmat menjawab sembari memakai masker. "Mau keluar."

"Ikut!" Aku menghampiri tempat Kak Rahmat berdiri.

Kak Rahmat sudah selesai memakai masker. "Kakak mau ke kantor polisi lho. Beneran mau ikut?"

"Yaelah, Kak, itu cuma kantor polisi. Kecuali kalau aku buat kesalahan pasti takut."

"Ya udah sana siap-siap. Kakak tunggu depan." Kak Rahmat sudah berjalan menuju dapur yang menghubungkan ke garasi.

******

Aku dan Kak Rahmat duduk di depan polisi yang masih sibuk dengan laptopnya. Katanya disuruh menunggu. Dan ini sudah lebih setengah jam, aku bosan setengah mati. Daritadi menguap… terus. Sedangkan Kak Rahmat menyenggol aku memperingatkan.

"Hoahm…" ini sudah ke-lima belas kali. Lagi-lagi Kak Rahmat menyenggol.

"Nggak sopan!" ucap Kak Rahmat dengan melotot.

Aku berdecak, "Bosen, Kak! Daritadi kita ngapain di sini, nunggu doang! Sedangkan yang ditunggu malah nggak peka." Aku melirik polisi itu yang tersenyum.

Kak Rahmat tersenyum canggung pada polisi itu yang hanya nyengir. Aku melengos malas.

"Tunggu dulu ya, sebentar lagi teman saya datang kok. Tunggu ya, dek," ucap polisi itu. Aku duduk kembali dengan kasar.

Beberapa menit kemudian, seseorang memakai kaos berwarna hijau army menghampiri kami. Mungkin dia kah yang dimaksud polisi ini.

"Ini seperti yang Anda inginkan." Polisi yang duduk mengangguk dan dibalas polisi berkaos. Setelah itu polisi berkaos pergi.

Aku melihat barang yang dibawa polisi berkaos. Itu seperti kemeja, celana, ponsel yang dibungkus di plastik pas lumayan tebal.

"Ini barang almarhum Bapak Andi," ucap polisi yang kini berbicara serius tidak lagi tersenyum. Aku menghela nafas, lagi-lagi aku harus mengingat Ayah. Jadi ini mengapa Kak Rahmat bertanya dulu padaku tadi. Betul! Seharusnya aku tidak usah ikut.

Kak Rahmat memegang plastik itu. "Iya. Makasih, Pak. Maaf baru bisa diambil sekarang. Yah… Bapak tahu sendiri kan?"

Polisi itu mengangguk. "Iya-iya. Kami paham, tak apa."

Aku tidak lagi mendengarkan percakapan dua orang dewasa itu. Memilih menunduk menatap sepatu pantofelku yang kugerakkan abstrak.

"Ya sudah. Kami pamit pulang," Kak Rahmat tiba-tiba berdiri aku ikut berdiri. Begitupun polisi itu, "Sekali lagi terima kasih, Pak."

"Iya, sama-sama. Sudah tugas kami melakukan hal-hal seperti itu."

Aku berjalan keluar dari kantor polisi dengan Kak Rahmat yang menenteng bungkusan itu. Aku baru sadar ternyata dia tidak hanya membawa bungkusan yang kulihat tadi.

"Kak, itu semua barang-barang Ayah?" tanyaku sembari berjalan.

"Iya. Ini semua barang-barang yang ditemukan polisi di mobil Ayah. Dan ternyata…" Kak Rahmat berhenti berjalan. Dia menatapku, "Ayah membelikan sesuatu untukmu."

Kak Rahmat mengeluarkan bungkusan yang tadi belum kulihat. Dia mengeluarkan barangnya.

"Apa itu?" tanyaku sembari menyentuh benda itu yang semacam kardus kue ulang tahun.

"Benda ini ditemukan polisi saat penyelidikan di TKP. Benda ini ada di dalam mobil Ayah. Katanya isinya sudah hancur. Diduga isinya semacam sebuah kue ulang tahun." Kak Rahmat berhenti berbicara sejenak. Aku masih menunggu lanjutannya.

Rahma & Rama (End, Complete) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang