Rintik hujan yang semakin deras di susul gemuruh guntur di luar sana membuat semua anak bersembunyi di balik selimut tebal mereka, kecuali seorang gadis kecil yang berdiri di dekat jendela kamar dengan netra bening berkaca-kaca tengah menangis dalam diam di sana.
Tangan mungil itu menyentuh kaca jendela di depannya, satu tangan lainnya membekap bibir menahan isak tangis yang akan keluar dari bibir ranum mungil itu.
"Dhara, Ya Tuhan."
Seorang wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kamar itu langsung berlari mendekap gadis kecil itu. Satu tangannya terulur menutup gorden jendela, menghalau kilatan petir di luar sana yang terlihat menyambar diikuti suara gemuruh guntur.
"Dhara, sudah malam sayang. Tidur ya?"
Dhara memeluk erat wanita paruh baya itu, "Bunda," panggilnya menenggelamkan kepala di ceruk leher wanita itu.
"Iya, Bunda di sini."
Suara samar decitan pintu yang di dorong pelan membuat perhatian wanita itu teralih ke sana. Ia mengangkat tubuh Dhara dan membawanya ke ranjang gadis itu, bergabung dengan anak panti lainnya.
"Dhara kenapa, Bun?" tanya Cakra, remaja jangkung yang baru saja membuka pintu kamar itu.
"Sudah malam, sana kembali ke kamar kamu!"
"Nyusahin," cibir Cakra.
"Cakra!"
Cakra menatap sinis Dhara, di bawah cahaya temaram di kamar itu ia masih bisa melihat jika Dhara masih saja menangis di sana.
"Reno demam, Bun. Dia butuh Bunda," ujar Cakra sebelum melenggang pergi dari kamar itu.
Dhara mendengar semua itu, perlahan ia mengurai pelukannya pada tubuh Sekar, ibu panti yang bertanggung jawab atas panti asuhan tempatnya tinggal ini. "Dhara mau tidur, Bunda bisa temui Reno. Kak Cakra ke sini untuk menyusul Bunda."
Sekar menyorot khawatir ke arah Dhara. "Dhara tidak apa Bunda tinggal?"
Dhara mengangguk pelan sembari mengusap air matanya. "Iya," jawabnya singkat, lalu beralih berbaring di ranjang tunggalnya.
Sekar tersenyum simpul, tangannya terulur menarik selimut untuk menyelimuti Dhara. "Ya sudah Bunda tinggal ya? Selamat malam," ucap Sekar mengusap lembut puncak kepala Dhara, sebelum melenggang pergi dari kamar itu.
Dhara menatap kepergian Sekar, netranya kembali berkaca-kaca mengingat perkataan Cakra. Seharusnya ia tidak perlu mengambil hati perkataan Cakra, ia sudah terbiasa mendengar lontaran pedas dari Cakra itu. Namun tetap saja, hatinya terasa sangat nyeri setiap mendengar Cakra berkata seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...