“Bunda senang kalian main ke sini, berdua lagi, sudah akur ya?” gurau Sekar menatap ramah Cakra dan Dhara yang duduk di sofa tidak jauh dari tempat duduknya.
Cakra mengulum senyum dengan pandangan melirik ke arah Dhara yang duduk dengan menundukkan kepala di sampingnya. “Dari dulu juga sudah akur kok Bun,” sanggah Cakra beralih menatap Sekar.
“Iya-iya, itu bagus, pertahankan,” ucap Sekar. Lantas ia mengalihkan pandangan ke arah Dhara yang menunduk di sana. “Dhara baru pulang sekolah langsung ke sini ya? Kalau Bunda boleh tahu, sekarang sekolah di mana?“ tanyanya.
Dhara mendongak menatap Sekar, seulas senyum tipis terbit di bibirnya. “Iya Bunda. Dhara sekolah di SMA Taruna Angkasa.”
“Oh sekolah yang jadi incaran Cakra dulu itu, tapi enggak jadi sekolah di sana,” ujar Sekar membeberkan fakta tentang Cakra.
Cakra yang mendengar itu menghela napas pelan. Memang, SMA Taruna Angkasa merupakan sekolah favorit di kota ini. Siapa pun pasti ingin bersekolah di sana. Dulu setelah lulus sekolah menengah pertama, Cakra bertekad mendaftar dengan mengejar beasiswa prestasi di sana, akan tetapi ia gagal. Ia sedikit kecewa waktu itu, namun ia juga beruntung masih bisa bersekolah di sekolah incarannya yang kedua.
“Beneran Bun?” tanya Dhara tertarik dengan perkataan Sekar barusan.
Cakra menoleh ke arah Dhara. “Kelihatan senang banget ya dengar aku gagal masuk sekolahmu,” ucapnya menatap geli Dhara yang terlihat antusias.
Dhara tersenyum kikuk. “Ya bukan gitu, Kak. Cuma menarik aja. Aku kira Kakak yang penting sekolah dulu, ternyata ada incaran mau lanjut sekolah ke mana,” jelasnya sembari menyelipkan helai rambut ke belakang telinga.
“Target hidup itu penting, walau aku bawaannya kelihatan malas dulu waktu sekolah. Tetapi tetap ada target mau lanjut ke mana, Dhara. Berpikir optimis, bukan malah pesimis,” ujar Cakra menatap Dhara dengan lekat, sedikit menyinggung pemikiran pesimis Dhara soal trauma yang dimiliki Dhara.
Dhara tahu Cakra menyindirnya tentang kepesimisannya. Ia lalu menunduk sebentar dan tersenyum kecut. Cakra tidak tahu semua tentangnya, hanya dirinya sendiri yang tahu. “Dulu iyakan Bun, Kak Cakra itu kelihatan malas kalau masalah sekolah?” tanyanya bersikap biasa saja, menatap Sekar seolah mencari dukungan opini kepada Sekar.
Sekar terkekeh pelan melihat Cakra dan Dhara. Ada kebahagiaan tersendiri melihat anak asuhnya di panti ini dulu sudah tumbuh dewasa sekarang. “Iya, kelihatan banget malasnya, tapi kalau sampai bolos, pasti Bunda marahin Cakra,” jawabnya sembari mengingat masa-masa mereka dulu di panti asuhan.
“Kalau mau bolos sudah dijadwal, Bun. Enggak asal bolos ya,” balas Cakra.
Dhara yang mendengar itu berkilat geli, baru tahu kalau membolos harus ada jadwalnya. “Seminggu berapa kali Kak bolosnya?” tanyanya menahan senyum menatap Cakra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...