CHAPTER 9 | TRUTH BELIEF

368 29 6
                                    

Dhara tengah menyisir rambutnya dengan tatapan yang menatap kosong cermin rias di hadapannya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dhara tengah menyisir rambutnya dengan tatapan yang menatap kosong cermin rias di hadapannya itu. Pikirannya melambung jauh memikirkan hidupnya kelak. Jika ditanya apakah ia tertekan hidup bersama keluarga Fernando, tentu jawabannya tidak. Maya dan Harun tidak pernah membedakan dirinya dan Azel dalam mendidik sedari dulu, walaupun ia hanya seorang anak adopsi dari panti asuhan.

Ia tidak pernah berpikir bisa menggantikan sosok Azkia, kembaran Azel yang sudah meninggal. Ia paham posisinya di keluarga ini dan sangat bersyukur karena di terima baik dalam keluarga Fernando, meskipun Azel tetaplah Azel yang bersikap dingin dan memiliki egoisme yang tinggi terhadapnya.

Dhara meletakkan sisir di tempat semula, setelah tatanan rambutnya dirasa sudah rapi. Ia beralih mengambil tas sekolahnya. "Buku kak Azel," gumamnya menatap sebuah buku tulis di atas kasur samping tasnya tadi. Itu buku matematika milik Azel, semalam Azel menyuruhnya mengerjakan tugas yang belum dikerjakan oleh Azel, hanya satu nomor, selebihnya Azel bisa menjawab dengan benar.

Dhara juga mengambil buku itu, lalu melangkah keluar dari kamar. Ia menuju kamar Azel terlebih dahulu untuk mengembalikan buku tulis itu. "Kak Azel," panggilnya sembari mengetuk pintu kamar Azel. Ia kembali memanggil Azel, tetapi tetap tidak ada sahutan.

Dhara memilih turun ke lantai bawah, mungkin Azel sedang sarapan di bawah. "Kak," panggilnya saat menemukan Azel tengah sarapan di meja makan.

Azel meneguk minumannya sejenak, lalu menyorot dingin Dhara yang mengulurkan sebuah buku kepadanya. Ia meraih tas dan buku itu lalu berdiri. "Lama!" sewot Azel langsung melenggang pergi dari sana.

Dhara yang melihat Azel pergi ikut melangkah menyusul Azel. "Kak, Kakak udah mau berangkat ya?" tanyanya saat sampai di depan rumah.

Azel mengabaikan Dhara, ia memilih mendekat ke arah Pak Beni yang tadi ia suruh memanasi mesin motornya, sembari memasukkan buku tulisnya ke dalam tas. "Terima kasih, Pak," ucapnya lalu mengambil alih motornya.

"Kak,"

"Berisik lo!" sentak Azel sembari memakai helm, tidak lupa menyerahkan helm Dhara ke Pak Beni, lalu melajukan motornya meninggalkan rumah, meninggalkan Dhara menuju sekolah sendirian.

Pak Beni yang melihat sikap putra-putri majikannya itu hanya bisa tersenyum canggung. "Mbak Dhara, mau saya antar pakai motor saya?" tawar Pak Beni menatap iba Dhara yang berdiri di teras rumah menatap getir kepergian Azel.

Dhara mengalihkan pandangan ke arah Pak Beni dan tersenyum tipis. "Enggak usah Pak, aku berangkat sendiri aja. Kalau begitu aku masuk ke dalam dulu ya Pak, belum sarapan soalnya," balasnya.

Memang Pak Beni memiliki sebuah motor biasa yang sering dipakai untuk mengantar Bi Inah membeli keperluan dapur.

"Iya mbak, sarapan dulu sebelum berangkat biar fokus nanti belajarnya," ujar Pak Beni tersenyum ramah kepada Dhara.

Truth BeliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang