Dhara menyusuri koridor rumah sakit, pandangannya mengedar menatap ke sekeliling. Pada akhirnya ia kembali konsultasi ke psikiater karena bujukan Azel setelah Azel mengetahui perihal traumanya. Kali ini ia datang ke Rumah Sakit Cahaya Medika bersama Azel saat hari menjelang sore, untuk jadwal konsultasinya sudah dikoordinasikan oleh Harun dan Maya tadi siang.
“Dr. Arisha. Psikiater yang sedari dulu menangani traumamu ya?”
Dhara menoleh ke arah Azel yang melangkah beriringan dengannya. “Iya, tapi udah hampir dua tahun lebih nggak bertemu. Apa kita batalkan saja ya Kak?” balasnya sedikit gugup saat akan bertemu dokter Arisha.
“Jangan! Sudah sampai sini masa nggak jadi. Nanti rugi lho!” bantah Azel bertepatan dengan mereka yang sampai di depan ruangan praktik dokter Arisha.
“Sepertinya ini ruangannya, Ra. Benar bukan sih, Ra?” tanyanya kepada Dhara sembari menunjuk pintu ruangan yang tertutup itu.
Dhara mengamati pintu itu dan di dinding sebelahnya tertera nama dokter Arisha.
“Sepertinya sih iya kak,” jawabnya.
Azel mendengus pelan mendengar jawaban Dhara yang kurang meyakinkan. Ia lalu memilih mengetuk pintu itu.
“Permisi,” ucapnya lalu sedikit membuka pintu ruangan itu setelah mendapat sahutan dari dalam.
“Ada keluhan apa ini?” tanya seorang dokter berkaca mata tersenyum ramah menyambut kedatangan Azel. Tatapan dokter itu beralih ke arah Dhara yang juga ikut masuk di belakang Azel.
“Adhara Caliana Pandhita ya?” lanjutnya setelah mengingat wajah Dhara.
“Iya dok,” sahut Azel sembari menarik lengan Dhara agar berdiri di sebelahnya lalu ia menutup kembali pintu ruangan itu.
“Dokter Arisha ya? Saya Azel dan ini Dhara adik saya,” lanjutnya menatap tenang Arisha yang terlihat seusia dengan mamanya, Maya.
Arisha mengangguk pelan dengan senyum yang terus terpatri di bibirnya. “Mari silahkan duduk dulu,” ucapnya kepada Azel dan Dhara.
“Maaf dok, saya menunggu di luar saja,” sela Azel. Ia kemudian meraih lengan Dhara dan mengarahkan Dhara agar segera duduk di hadapan Arisha.
“Permisi dok,” pamitnya.
“Iya silahkan,” balas Arisha menatap kepergian Azel dari ruangannya.
Melihat Azel sudah keluar, ia beralih menatap Dhara. “Apa kabar Dhara? Senang bisa bertemu sama kamu lagi,” ucapnya menyapa Dhara.
Dhara tersenyum canggung, di atas pahanya ia memilin jemari tangannya dengan gugup. “Baik dok,” jawabnya.
Arisha berdiri sejenak dan tangannya meraih satu lengan Dhara untuk ia genggam dengan tangannya di atas meja, lalu kembali duduk di tempat semula. “Ada apa? Apa yang kamu rasakan sekarang, bisa ceritakan semuanya sama saya,” pintanya.
Tatapan dokter Arisha memindai ekspresi Dhara, dan kemudian ia bisa menangkap kegugupan dan gurat cemas dari Dhara.
Dhara menggigit bibir bawahnya, ia merasa berat untuk kembali berkeluh kesah kepada Arisha.
“Dokter masih ingat aku dan traumaku?”
Arisha langsung mengangguk. Tentu saja ia ingat walau hampir dua tahun tidak melihat gadis di hadapannya saat ini. Waktu dua tahun itu tidak sebanding dengan lama dirinya mendampingi Dhara sejak umur Dhara baru lima tahun, terlebih kecelakaan yang menyebabkan trauma Dhara kala itu, cukup banyak menyimpan kebenaran yang sengaja ditutupi dari Dhara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...