Dhara duduk bersila di atas kasur, kepalanya menunduk dengan jemari memilin gelisah ujung baju yang dikenakannya. Rasanya semakin gelisah dan gugup karena Azel berdiri bersedekap dengan mata menyorot lurus ke arahnya dari dekat ranjangnya. Seharusnya ada Maya di kamar ini, tetapi Maya sedang turun ke bawah sebentar menemui Cakra yang katanya sedang datang ke rumah.
“Kak Azel, kenapa tatapannya kaya gitu?” cicit Dhara.
Azel memicingkan mata ke arah Dhara yang menunduk untuk menghindari tatapannya. “Kamu kemarin berangkat sama pulangnya bareng Alvan kan?” tanyanya.
Dhara mendongak menatap Azel. “Enggak Kak. Aku pulang sendiri kemarin,” jawabnya. Walaupun yang ia tahu, Alvan tetap mengikuti dirinya dari belakang dengan motornya sendiri.
Azel mendengus pelan, tetapi detik berikutnya ia menatap Dhara dengan serius. “Alvan nggak macam-macam sama kamu kan? Jangan-jangan kamu sakit gara-gara Alvan?” tuduhnya.
Dhara membelalak terkejut mendengar tuduhan itu. “Enggak!” bantahnya tegas.
“Bisa aja dia__”
“Kak, enggak!” potong Dhara sebelum Azel berpikir macam-macam tentang Alvan. Terlebih lagi yang ia tahu, hubungan Azel dan Alvan sedang buruk. “Aku sakit karena emang lagi sakit aja. Bukan karena Alvan,” tambahnya.
“Iya, iya. Tapi Alvan suka diam-diam menghanyutkan lho. Hati-hati kamu kalau sama dia,” peringat Azel.
Dhara mengernyit heran. “Maksudnya?” tanyanya terheran.
Azel menyeringai tipis, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Dhara.
“Hati-hati sama hati kamu, bisa aja hati kamu udah dicuri sama Alvan. Kakak lihat nih ya, dia itu kaya perhatian banget sama kamu akhir-akhir ini.”
Dhara mematung mendengar perkataan Azel. Ia berdehem pelan untuk menormalkan ekspresinya. “Kita aja cuma teman Kak,” ucapnya dengan wajah yang memerah karena malu.
Azel berkilat geli menangkap gelagat salah tingkah dari Dhara. “Teman nih? Jadi udah mulai pertemanan hm?” godanya.
Azel lalu menegakkan tubuhnya kembali. “Sebuah hubungan serius itu bisa dimulai dari sebuah pertemanan, Dhara.”
Dhara semakin salah tingkah di buatnya, ia beranjak turun dari atas kasur. “Aku mau nyusul Mama ke bawah,” ucapnya bersiap akan berdiri dari duduknya di tepi ranjang.
Azel mendekat ke arah Dhara dan menunjuk pipi Dhara yang sekarang sedikit memerah. “Kenapa pipinya merah? Coba sini Kakak lihat,” ujarnya lalu memegang kedua pipi Dhara secara bergantian.
Dhara menahan napas karena ulah Azel, sehingga membuat ia langsung menepis lengan Azel agar menjauh dari pipinya. “Kak Azel! Jangan ganggu ih!” kesalnya.
Azel tidak bisa lagi menahan tawanya, hingga tawanya pecah menggema di dalam kamar Dhara. Sedangkan Dhara hanya menunduk malu dengan bibir yang tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...