Happy Reading...
Dhara duduk termenung di kursi koridor rumah sakit. Mengetahui jika dirinya sempat pingsan kemarin, Maya langsung membawa dirinya untuk berkonsultasi dengan Dokter Arisha. Konsultasinya hari ini sudah selesai setengah jam yang lalu. Sekarang ia tinggal menunggu Maya yang katanya ingin berbicara sebentar dengan Dokter Arisha di dalam sana.
"Dhara?"
Dhara yang merasa terpanggil, mendongakkan kepalanya melihat siapa yang menyapanya. Ia sedikit terkejut mendapati Evita yang berdiri di hadapannya.
"Tante," sapanya balik. Ia lalu berdiri dan menyalami Evita dengan sopan.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Evita memegang kedua bahu Dhara. Merasa tidak kunjung ada jawaban dari Dhara ia kembali berucap. "Tante kangen loh sama kamu, kamu kok enggak hubungi nomor Tante atau main ke rumah Tante lagi sih?"
Dhara tersenyum kaku. "Maaf ya Tante, lain kali mungkin. Tante ke sini sama siapa?"
Evita menuntun Dhara agar kembali duduk di tempat duduk Dhara sebelumnya dengan dirinya juga ikut duduk di sebalah Dhara. Ia menyorot Dhara dengan rumit sebelum tersenyum dan berucap dengan mimik wajah sedihnya. "Tante ke sini sama Liam. Hari ini jadwalnya chek up Liam."
Dhara mengernyitkan alisnya bingung. "Memangnya Liam sakit apa Tante?"
"Sebelum Tante jawab, tolong ya jangan kasih tahu siapa pun. Karena Liam enggak mau merasa dikasihani. Tante sampai pusing bujuk Liam yang keras kepala sekali," jelas Evita meraih satu tangan Dhara dan mengusapnya pelan.
"Liam terkena leukimia, Dhara. Putra Tante satu-satunya terkena penyakit itu."
Dhara yang mendengar itu sontak terkejut. "Tan_Tante serius?" tanya Dhara yang masih tidak percaya. Namun jawaban anggukan dari Evita membuat Dhara mempercayai fakta itu.
"Tapi, apa Liam bisa sembuh Tante?"
Evita mengangguk lemah. "Kata dokter Liam memiliki harapan sembuh yang cukup besar jika dapat perawatan intensif. Tapi Liam sendiri menolak untuk dirawat seperti itu, Dhara. Liam maunya rawat jalan dan tetap sekolah."
"Sekarang Liam di mana Tante?"
"Sedang diperiksa, itu di ruang sebelah sana," tunjuk Evita ke arah lorong yang mengarah ke spesialis pemeriksaan penyakit dalam.
Dhara akan berucap lagi tapi ia urungkan saat mendengar suara pintu terbuka yang menampilkan sosok Maya yang baru saja keluar dari ruangan Dokter Arisha.
"Loh, Bu Vita?" sapa Maya saat melihat sosok Evita bersama putrinya.
Evita berdiri dari duduknya dan memeluk serta mencium pipi Maya khas sapaan ibu-ibu. "Maya, sudah lama lho kita enggak ketemu eh malah ketemu di sini," katanya menjauhkan tubuhnya dari Maya. Ia melirik ke arah ruangan yang bertuliskan dokter kejiwaan atau psikiater. "Kamu kenapa ke psikiater Maya?"
Maya yang mendengar itu sedikit melirik ke arah Dhara. Ia tersenyum tipis dan berdehem pelan lalu fokus ke arah Evita. "Oh ini, kepalaku rasanya kadang pusing sampai susah tidur, insomnia. Jadi konsultasi ke psikiater daripada pikiran tambah stres nantinya," katanya beralasan sembari memijat pelan pelipisnya.
Evita yang mendengar itu mengangguk pelan. "Kelelahan mungkin May, kamu kan sering ikut Harun kerja, apalagi kalau Harun ke luar kota pasti enggak pernah absen kan kamu?"
"Ya mungkin karena itu, Vit."
Dhara yang mendengar perkataan mamanya itu menatapnya dengan haru. Mamanya itu rela menjadikan dirinya sendiri sebagai alasan daripada mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain. Jika mereka ke psikiater karena dirinya bukan karena mamanya. Ia yang sebenarnya membutuhkan konsultasi dengan dokter Arisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...