Di sebuah ruangan, Adam duduk di kursi kerjanya. Pikirannya menerawang jauh, mencoba mengingat kecelakaan kelam belasan tahun silam yang menewaskan kedua orang tua kandungnya. Dalam kecelakaan itu juga terdapat adiknya yang dikabarkan selamat. Namun sayangnya sampai sekarang ini ia tidak tahu di mana keberadaan adiknya.
Adam sadar keberadaan adiknya sengaja ditutupi oleh kakeknya, seorang yang arogan yang mendidiknya dengan keras hingga dirinya berada di posisinya saat ini, memimpin sebuah perusahaan besar.
Tok...tok...tok...
"Masuk!" perintah Adam saat mendengar suara ketukan pintu. Ia menoleh ke sana dan melihat sosok Cakra yang datang.
"Silahkan duduk, Cak. Ada yang perlu saya bicarakan."
Cakra mengangguk pelan dan bergegas duduk di kursi seberang meja kerja atasannya itu. "Ada apa, Pak?"
Adam menegakkan posisi duduknya dan menatap Cakra dengan serius. "Kamu ingat kan saya pernah menyuruh kamu mencari seseorang dan pencarian itu berakhir nihil?"
Cakra sedikit terkejut, tetapi tetap mencoba tetap tenang. "Iya ingat. Memangnya kenapa, Pak?"
"Saya ingin kamu mencarinya lagi dengan serius dan jujur Cak," tegas Adam. Ia tidak bodoh, bisa dilihat jika Cakra sedikit gelisah sekarang.
"Tapi Pak, pencarian terakhir waktu itu tetap tidak membuahkan hasil. Apa pencarian kali ini akan berhasil?"
"Saya percaya sama kamu, Cakra. Jangan sia-siakan kepercayaan saya. Kamu bekerja untuk saya bukan kakek saya."
Cakra meneguk salivanya pelan. Terakhir kali saat ia berusaha meluruskan kebenaran, dirinya malah berakhir kecelakaan yang berujung masuk rumah sakit dan dirawat beberapa hari.
"Saya tadi bertemu dengan gadis yang beberapa kali bersinggungan dengan saya. Namanya Adhara Caliana, dia bersekolah di SMA Taruna Angkasa. Saya rasa kamu tahu gadis yang saya maksud," tambah Adam saat melihat Cakra hanya diam.
"Saya pernah bertemu dia sewaktu menjenguk kamu di rumah sakit. Kamu ingat kan?"
Cakra mengangguk pelan. Tidak ada alasan lagi untuk mengelak. "Gadis itu temannya adik saya, Pak."
"Tapi dia seperti dekat sama kamu. Sampai menjenguk kamu waktu itu. Lalu kenapa kamu tidak bilang ke saya kalau sebenarnya kamu kenal sama gadis itu. Namanya juga mirip dengan adik saya dan kamu tahu itu."
Cakra menunduk dalam. Bagaimana bisa Adam tahu tentang Dhara? Walau hanya sebatas nama dan sekolahnya saja, tapi itu sudah menjadi informasi yang penting bagi Adam. Bukan hanya itu saja, jika Adam pernah beberapa kali bersinggungan dengan Dhara, kemungkinan besar Adam akan merasa tidak asing dengan Dhara.
"Setelah ini, saya minta kamu mencari tahu semua hal tentang gadis itu. Kirim laporan hasil pencariannya ke email saya, besok!"
Cakra refleks mendongak menatap Adam. "Tapi Pak, waktunya terlalu singkat."
"24 jam sudah lebih dari cukup, Cakra. Terlebih lagi adik kamu satu sekolah dengan Adhara," tegas Adam menatap tajam Cakra.
Cakra mengusap pelan pelipisnya, mendadak berkeringat dingin saking paniknya. Ia bingung harus bagaimana setelah ini. "Ba-baik, Pak."
•••
"Dhara mana?" tanya Azel yang baru saja datang dengan keadaan yang tidak jauh berbeda dari Alvan, sedikit basah kuyup.
Alvan menyugar rambutnya ke belakang dan mendongak menatap Azel. "Dhara ada di dalam, lagi diperiksa sama dokter."
Azel yang sudah geram dengan Alvan langsung menarik kerah seragam Alvan dan memaksa Alvan agar berdiri dari posisinya. "Bagaimana bisa Dhara sampai pingsan hah? Lo macam-macam sama Dhara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Ficção AdolescenteON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...