"Azel! Kamu kenapa nggak kasih kabar ke Mama kalau adik kamu sakit?" suara Maya mengalun memenuhi kamar Dhara. Ia berdiri dengan berkacak pinggang menatap Dhara dan Azel secara bergantian. Sampai tatapannya memicing ke arah wajah putranya.
"Itu dekat bibir kamu kenapa? Kamu habis berantem ya?" tuduh Maya menunjuk sudut bibir Azel yang masih sedikit lebam.
Azel yang berdiri di dekat ranjang Dhara langsung menundukkan kepala menghindari tatapan mamanya. "Nggak sengaja kena bola kasti waktu olahraga, Ma," jawabnya memilih berbohong kepada Maya.
Dhara yang mendengar Azel berbohong ikutan menundukkan kepala. Ia duduk bersila di atas kasur dan tangannya memilin gugup selimut yang menutupi kakinya. Dalam hati ia tidak yakin jika kebohongan Azel akan mulus, masalahnya alasan Azel terdengar cukup aneh.
Harun yang berdiri di dekat istrinya tersenyum geli mendengar alasan putranya. "Kenapa kamu nggak menghindar? Main basket aja jago, masa main kasti sampai terkena bola kaya gitu?"
Azel mendongak menatap penuh peringatan Papanya, berharap Papanya membantu dirinya agar bisa terhindar dari omelan Mamanya. "Bola basket besar, sedangkan bola kasti kecil, Pa. Beda ukuran beda cara mainnya."
"Iya Papa tahu. Terus kenapa kamu nggak menghindar waktu bola kasti itu mengarah ke wajahmu?" balas Harun bersedekap dada menatap tenang putranya.
Maya menghela napas pelan mendengar percakapan putra dan suaminya. "Sudah-sudah! Kalau ribut masalah bola sana keluar!" usirnya beralih duduk di tepi ranjang Dhara.
Azel yang mendengar pengusiran dari Mamanya tersenyum senang. Melihat Papanya yang meminta dirinya agar mengikuti Papanya keluar, ia langsung melangkah mengikuti Papanya.
"Papa tahu kalau kamu bohong," ujar Harun menghentikan langkahnya setelah berada di luar kamar Dhara. "Berantem sama siapa?" tanyanya menyorot tegas putranya.
Azel ikut menghentikan langkah dan menghela napas pelan. "Alvan," jawabnya jujur.
Harun menaikkan sebelah alisnya, sedikit heran kenapa putranya berantem dengan Alvan padahal yang ia tahu teman dekat putranya sendiri selain Liam. "Masalah apa?" tanyanya.
"Ada, tapi Papa nggak perlu tahu."
"Baiklah, terserah kamu," ucap Harun mengulurkan tangan memegang bahu putranya dan menepuknya pelan.
"Jaga hubungan pertemanan kalian ya. Papa percaya kamu bisa mengatasi masalah sendiri. Selesaikan dengan kepala dingin jangan pakai emosi," lanjutnya dengan menepuk pelan bahu Azel lagi dan kemudian melanjutkan langkah pergi dari sana menuju lantai bawah.
Harun menghentikan langkahnya di pertengahan tangga saat mendapati Pak Beni datang mendekat ke arahnya. "Ada apa, Pak Ben?" tanyanya.
Pak Beni menunduk sopan di depan Harun. "Di depan ada tamu, Pak. Katanya mau bertemu sama mbak Dhara," lapornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...