Dhara melangkah turun dari taksi yang ditumpanginya. Ia melebarkan payung yang dibawanya untuk menghalau gerimis hujan yang kembali turun mengguyur bumi. Payung itu adalah payung yang dibawa oleh Azel tadi pagi, lelaki itu menyuruh dirinya yang membawa payung sebelum pergi semobil dengan Alvan yang kemudian disusul Liam dengan mobilnya sendiri.
Dhara menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya memasuki area panti asuhan. Halaman panti yang biasanya banyak anak-anak bermain sekarang sepi, mungkin karena hujan turun jadi anak-anak berada di dalam panti. Ia lantas meletakkan payung di tepian teras lalu mendekat ke arah pintu.
“Permisi,” panggil Dhara sambil menekan bel yang berada di samping pintu teras.
Tidak menunggu lama, pintu di hadapannya itu terbuka. “Bunda,” sapa Dhara menyalami Sekar.
“Dhara. Bunda kira tadi siapa, ayo sini masuk dulu,” ajak Sekar langsung menarik Dhara masuk ke dalam panti menuju ruang tamu. “Bunda buatkan teh hangat dulu ya.”
“Enggak usah Bunda. Aku cuma sebentar kok di sini,” tolak Dhara secara halus.
Sekar yang akan berdiri dari duduknya mengurungkan kembali niatnya. Ia kembali menatap ke arah Dhara yang duduk di sampingnya. “Dhara ada perlu apa sampai hujan-hujan datang ke sini?”
Dhara sedikit menyerongkan duduknya ke arah Sekar. “Ada yang mau Dhara tanyakan ke Bunda. Dhara harap Bunda menjawabnya dengan jujur.”
Sekar yang mendengar perkataan serius dari Dhara langsung meneguk salivanya pelan dengan tubuh yang sedikit menegang. Dhara merupakan anak panti yang paling luar biasa baginya, bahkan saat Dhara sudah tidak tinggal di panti. Ia juga masih selalu ingat dengan sosok Dhara beserta fakta yang berada di belakang Dhara.
“Mau tanya apa sama Bunda?”
Dhara menatap rumit Sekar, dengan seulas senyum tipis ia menyampaikan pertanyaannya. “Kata Bunda kedua orang tua aku sudah meninggal karena kecelakaan. Lalu, sekarang di mana makam mereka Bunda?”
Sekar mengalihkan tatapannya dari Dhara. Pertanyaan yang beberapa tahun lalu sudah Dhara tanyakan, kini kembali ditanyakan lagi sekarang. Jika dulu Dhara masih anak kecil yang bisa ia beri alasan, tapi untuk sekarang ia tidak yakin.
“Bunda pasti tahu. Kalaupun Bunda enggak tahu, setidaknya beri tahu aku siapa nama lengkap orang tua kandung aku Bun,” lanjut Dhara saat Sekar hanya terdiam.
“Aku udah remaja dan aku juga punya hak untuk tahu siapa nama mereka dan di mana makam mereka, Bunda.”
Sekar meremas jemarinya sedikit gugup. Seharusnya, itu pertanyaan yang mudah di jawab olehnya. Namun, ada alasan yang cukup berat dibalik semua jawaban yang diinginkan oleh Dhara.
“Bunda akan memberi tahu nama orang tua kandung kamu. Tapi, di sini Bunda juga tidak tahu persis di mana letak makam mereka, Dhara,” balas Sekar setelah bergulat dalam pikirannya sendiri.
“Katakan saja, Bunda,” Desak Dhara.
Sekar meraih satu tangan Dhara dan menggenggamnya di atas pahanya. “Aruni Pandhita dan Daffino, itu nama kedua orang tua kamu, Dhara.”
“Apa nama ayah hanya Daffino?” tanya Dhara. Rasanya ada yang ganjil, kenapa namanya mengikuti marga ibunya? Apa Ayahnya tidak memiliki marga? Satu hal lagi yang mengusik pikirannya saat ini, keluarga Fernando tidak pernah menawarkan mengganti namanya menjadi bermarga Fernando.
Sekar merasa tidak enak kepada Dhara. “Tentu tidak. Itu hanya nama depan Ayahmu, untuk nama lengkapnya Bunda tidak memiliki kewenangan untuk menyebutkannya Dhara,” terang Sekar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...