Happy Reading!
Semilir angin malam menerpa tubuh Alvan yang tengah mengendarai motornya yang bersisian dengan motor Hara. Sudah seminggu lebih Alvan banyak menghabiskan waktunya mengurus usaha distro bersama dengan Hara dan dua kawan Hara lainnya. Distro yang pernah dirinya datangi bersama dengan Dhara waktu itu merupakan usaha distro miliknya yang resmi dibuka saat kelas 10. Hanya segelintir orang yang tahu jika distro itu miliknya, selebihnya beranggapan distro itu milik Hara.
Tin tin
Hara menekan klakson motornya sebagai tanda perpisahan sebelum berbelok meninggalkan Alvan. Hara menghela napas pelan, selama seminggu ini ia dibuat heran dengan sikap Alvan yang semakin hari semakin terlihat suram. Jika biasanya Alvan hanya akan mengecek distro seminggu sekali, tetapi selama seminggu ini Alvan terus datang ke distro. Kepalanya menggeleng pelan, biar itu menjadi urusan pribadi Alvan.
Kembali kepada Alvan, ia sedikit melambatkan laju motornya. Lelah yang dirasakan tubuhnya seakan tidak sebanding dengan hati dan pikirannya yang lelah memikirkan Dhara. Bukankah Dhara berkata hanya seminggu di Singapura? Lalu kenapa hingga hari ini Dhara belum juga kembali?
Ponselnya tiba-tiba berdering, perlahan Alvan menepikan motornya di tepi jalan. Tertera nama Galen pada layar ponselnya yang masih saja berdering.
“Apa?” tanya Alvan kepada Galen lewat sambungan telepon.
“Sibuk nggak, Bang? Sini nongkrong di kafe gue.”
“Siapa aja?”
“Banyak, mayoritas anak basket sih Bang.”
“...“
“Oh iya, tadi gue juga hubungin Bang Azel katanya otw ke sini. Mumpung malming juga, Bang.”
"Oke, otw,” balas Alvan sebelum mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia menyimpan ponsel di saku jaketnya lalu melajukan motornya menuju kafe yang dimaksud Galen. Mungkin, kumpul bareng bisa menjernihkan pikirannya kembali.
Alvan melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga tidak sampai lima menit ia sudah tiba di depan kafe milik Galen bertepatan dengan Azel yang baru saja turun dari atas motornya di sana.
“Ke sini juga, Van?” sapa Azel mendekat ke arah Alvan dan bertos ria ala cowok. “Asal lo tahu, untung si Galen telepon jadi gue ada alasan buat kabur dari nyokap.”
Alvan turun dari atas motornya dan berdiri di hadapan Azel. “Kenapa?”
Azel mengernyit, tetapi detik berikutnya langsung paham ke mana arah pertanyaan Alvan. “Oh gini, kan Dhara enggak ada di rumah. Nah, gue sama Bi Inah terpaksa jadi tester eksperimen kue nyokap gue.”
Mendengar nama Dhara disebut, Alvan merasakan hatinya sedikit mengganjal. Ia melengos dengan seulas senyum kecut terbit di bibirnya.
Azel menaikkan tudung hoodie navy yang dikenakannya. “Masuk yuk, ramai tuh di dalam,” ucapnya lalu melenggang masuk ke dalam kafe bersama dengan Alvan.
“Woi Bang, sini!” seru Galen melambaikan tangan meminta Alvan dan Azel mendekat ke arah rombongannya.
Azel mengangkat satu tangannya membalas lambaikan Galen. “Ke sana,” katanya kepada Alvan sebelum melangkah menuju tempat Galen dan lainnya.
“Udah ada di sini aja lo, Von,” ujar Azel saat menyadari ada Devon di sudut kafe.
“Hei Zel! Biasalah, bosan sendirian,” jawab Devon dengan pandangan fokus ke permainan ponsel ditangannya.
“Mau rokok, Bang?” tawar Langit saat mendapati Alvan duduk tidak jauh darinya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alvan.
“Bercanda kali, Bang. Tuh makan permen tusuk punyanya Aldo aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...