✨Happy Reading✨
Dhara mendengus pelan, sudah kesekian kalinya ia melakukan hal serupa. Hal itu karena Neta yang terus menerus meledeknya dengan Alvan. Tidak hanya itu, dengan riangnya Neta menceritakan masa kecil Alvan yang satu giginya copot bertepatan saat Alvan makan apel dengan menggigitnya utuh secara langsung. Cerita masa kecil yang lebih mengarah ke aib menurutnya.
"Nah lo tahukan kenapa dia nggak suka apel bahkan sampai turunannya seperti jus apel? Ya karena yang gue ceritain barusan, Dhar!" kata Neta diakhiri kikikan gelinya.
"Waktu diskusi tinggal lima belas menit lagi!"
Dhara langsung menyenggol lengan Neta agar kembali ke topik diskusi mereka. Mereka kini tengah mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Neta menyela bercerita setelah tugas mereka selesai. Tugas kelompok bersama satu meja untuk mendiskusikan kalimat fakta dan opini dari sebuah teks editorial.
"Nanti yang pertama maju presentasi di depan, Yoneta sama Dhara!"
Neta hampir saja tersedak air liurnya sendiri setelah mendengar perkataan guru bahasa Indonesia yang menyebut namanya dan juga Dhara. Ia berdehem pelan dan menatap ke arah Pak Satya. "Maaf Pak, kenapa saya sama Dhara dulu yang maju? Biasanya juga dari meja depan yang maju dulu."
Pak Satya kembali melempar pandangan ke arah meja murid yang baru ia sebutkan tadi. Meja barisan pinggir dekat dinding.
"Sepertinya kalian juga sudah selesai dari tadi."
Neta menggeleng pelan sembari menarik buku serta bolpoin, berpura-pura menulis di sana. "Belum Pak, kami belum selesai lho."
"Kalau begitu segera selesaikan! Kalian tetap maju yang pertama untuk mempresentasikan hasil diskusi kalian."
"Baik Pak," balas Dhara sambil melirik ke arah Neta yang berdecap pelan dengan bahu yang merosot lesu. Memang apa masalahnya? Mereka juga sudah menyelesaikan tugas diskusi dari Pak Satya.
"Berarti dari tadi kita diawasi Pak Satya, Dhar."
Dhara menarik buku tulis miliknya. "Mungkin. Sekarang kita teliti ulang lagi ini."
Neta mengangkat buku miliknya dan meletakkannya ke atas kepala. "Nggak perlu! Teks apaan coba, judulnya aja 'Perlukah Transportasi Umum Untuk Kita' bagi gue ya jelas perlu lah!"
Brakk
Dhara yang tengah meneliti rentetan tulisan di buku tulisnya langsung menoleh ke arah Neta karena terkejut saat mejanya tersentak naik. Ia mendelik kecil melihat Neta mengusap lutut. Pasti lutut Neta tertumbuk dengan bagian bawah meja.
"Ada apa di sana?" tanya Pak Satya yang juga mendengar suara berisik itu.
"Neta sudah mau maju ke depan Pak. Tadi saya lihat dia berdiri tapi duduk lagi," ujar Ayuna sambil menyeringai tipis ke arah Neta.
Neta yang mendengar itu langsung melempar tatapan tajam ke arah Ayuna yang berjarak dua meja darinya. Lututnya tidak sengaja bertumbukan dengan bawah meja karena dirinya kesal sebab kelompoknya disuruh maju pertama. Bukan mau berdiri dan maju ke depan.
"Kalau begitu bagus. Silahkan Neta sama Dhara maju ke depan."
Neta menahan Dhara agar jangan berdiri dulu. "Lutut gue masih nyeri, tunggu bentar," lirihnya sambil mengusap lututnya yang sedikit memerah.
"Ayo, segera maju ke depan!" desak Pak Satya karena kedua muridnya itu tidak kunjung beranjak dari tempatnya.
Dhara meringis pelan melihat lutut kanan Neta yang sedikit memerah. "Sekarang Net?" ucapnya melihat Neta beranjak berdiri. Mendapat anggukan dari Neta, ia lantas mengambil buku miliknya dan beranjak berdiri lalu maju bersama dengan Neta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...