Dhara menatap sendu ke arah awan mendung di luar sana dari balik kaca jendela kamarnya. Helaan napas gusar terdengar darinya saat mendengar ketukan pintu beruntun seakan tidak sabar menunggu dirinya membukakan pintu itu. Ia melangkah mengambil tas ransel yang tergeletak di atas ranjang, lalu melenggang menuju pintu untuk membukakan pintu itu.
“Buruan sarapan!” seru Azel saat pintu itu terbuka dan menampilkan Dhara dari dalam kamar itu. Ia menelisik raut wajah Dhara yang terlihat murung.
Dhara mengalihkan pandangan dari Azel. “Tumben,” sindirnya.
Azel mendengus pelan, ia membenarkan letak tas ranselnya yang tersampir di bahu kirinya karena sedikit melorot. “Kenapa murung?” tanya Azel bersedekap dada menatap Dhara.
Dhara menghela napas pelan, semakin hari kakak angkatnya ini semakin aneh saja, tepatnya setelah penerimaan rapor kenaikan kelas duabelas beberapa minggu yang lalu. “Aku enggak murung,” jawab Dhara sembari menutup pintu kamarnya.
Azel sedikit memundurkan tubuhnya, “Orang bermata minus-pun bisa lihat kalau wajah kamu murung, Dhara.”
Dhara tertegun mendengar perkataan Azel, apa ekspresinya sangat mudah terbaca? Ia mengerjapkan matanya dan berdehem pelan. “Kenapa kakak peduli sama aku sekarang?” tanyanya meluncur begitu saja dari mulutnya.“Memang dulu kakak tidak peduli sama kamu?” balas Azel menyorot tenang Dhara.
“Ya,” jawab Dhara tersenyum kecil ke arah Azel, seakan ada yang lucu dengan percakapan mereka kali ini.
Azel tersenyum tipis mendengar jawaban spontan Dhara, bahkan Dhara tidak akan menyadari senyumannya itu. “Buruan sarapan, nanti terlambat, Dhara!” seru Azel memilih pergi dari sana mendahului Dhara.
Dhara menatap punggung tegap Azel yang menjauh darinya, ia menggelengkan kepala pelan mencoba menepis pikiran buruk tentang Azel. Ia sangat menyadari posisinya di keluarga ini, sudah sepantasnya jika Azel kurang peduli dengannya. Azel sepertinya hanya peduli dan sangat sayang kepada kembaran perempuan Azel yang sayangnya sudah meninggal, cukup itu yang ia tahu. Membuat ia sadar diri agar tidak perlu terlalu berharap Azel akan sangat peduli dengannya selayaknya kakak laki-laki yang menyayangi adiknya.
“Lima menit enggak buruan sarapan, Kakak tinggal ke sekolahnya!” seru Azel menghentikan langkah sejenak dan menoleh ke arah Dhara yang malah melamun di depan pintu kamar.
Dhara langsung mendongak menatap Azel. “Jangan memberi harapan palsu, kak," balasnya menatap Azel dengan getir.
Azel mengatupkan bibirnya, tatapannya menyorot tenang ke arah Dhara, tidak ada sorotan dingin seperti biasanya. “Kali ini serius, kita berangkat bareng,” ujar Azel menghela napas sejenak dengan jemari yang mengetuk ke besi pembatas tangga. “Jadi, kamu tidak perlu memesan taksi atau ojek,” lanjutnya. Ia langsung melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga tanpa menoleh kembali menatap Dhara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Fiksi RemajaON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...