Happy Reading...
Kalau ada typo, tandai ya...Dhara masih berbaring di ranjang UKS, tatapannya menyorot lurus langit-langit atap di atasnya. Ia baru saja terbangun dari tidurnya. Semalam ia hanya tidur selama tiga jam, itu pun setelah hujan reda dan rasa gelisah pada dirinya sedikit tenang. Jika saja ada Maya, pasti dirinya tidak akan sendirian semalam.
“Sudah bangun?” tanya Azel sembari menegakkan tubuhnya yang duduk bersandar di dinding.
Dhara menoleh ke arah Azel. Hanya ada dirinya dan Azel di dalam bilik UKS, karena yang lain sudah diusir oleh Azel agar kembali ke kelas sebelum Dhara tidur.
Azel menarik kursi yang didudukinya mendekat ke ranjang Dhara. “Lain kali kalau susah tidur terus cemas, bilang ke Kakak. Jangan ngunci diri di dalam kamar kaya semalam. Tadi pagi aja sarapannya juga nggak dihabisin, jadi gini kan sekarang.”
Dhara terdiam, memang benar semalam ia memilih mengunci diri di dalam kamar. Ia takut dan juga sedikit malu jika Azel sampai masuk ke dalam kamarnya dan melihat dirinya dititik terendah. Selama di keluarga Fernando, Maya yang selalu detail memperhatikannya mungkin karena dari awal sudah tahu jika dirinya memiliki trauma.
“Perlu ke psikiater lagi nggak setelah ini? Kalau iya Kakak bakal kasih kabar ke Mama atau Papa buat bilang ke dokter kamu.”
Dhara langsung menggeleng pelan. “Enggak perlu Kak. Kakak nggak bilang ke Mama Papa kalau aku pingsan disekolah kan?”
Azel menatap lembut Dhara, tangannya terulur mengusap puncak kepala Dhara. “Kakak udah bilang tadi lewat telepon waktu kamu tidur. Mama Papa harus tahu kondisi kamu.”
“Harusnya Kakak nggak perlu kasih tahu, nanti Mama Papa khawatir Kak. Mereka kan lagi di luar kota, terutama Mama pasti nanti kepikiran terus,” ujar Dhara menatap sendu Azel.
Azel menarik tangannya menjauh dan mendesah pelan. “Mereka akan pulang besok,” ucapnya memberitahu Dhara.
Seharusnya lusa depan orang tuanya akan kembali, tetapi setelah mendengar Dhara pingsan di sekolah, Maya langsung meminta agar segera pulang kepada Harun. Ia mendengarnya sewaktu di telepon tadi.
“Tuh kan, mereka pasti cemas.”
“Memang harusnya seperti itu Dhara. Udahlah, sekarang kamu masih pusing nggak?”
“udah mendingan sih Kak.”
Azel melirik jam tangan miliknya, sebentar lagi waktunya istirahat. “Kita ke kantin ya? Kamu harus makan.”
Dhara beranjak bangun dari posisinya. “Aku mau ke kelas aja Kak.”
“Nanggung Ra, bentar lagi juga istirahat. Pokoknya kamu harus makan dulu, jangan protes!” tegas Azel menatap Dhara dengan serius.
“Tapi uang aku di kelas Kak,” ucap Dhara. Ia berkata jujur, terlebih lagi ia tidak nafsu makan dan ingin di kelas saja sampai pulang sekolah.
Azel berdecap pelan. “Kamu pikir Kakak nggak ada uang? Pakai uang Kakak, jangan banyak alasan! Kalau pingsan lagi nanti ngerepotin Dhara. Masih mending kalau Kakak ada di samping kamu, kalau enggak siapa yang mau bantuin lagi?”
Dhara meringis pelan mendengar nada kesal Azel. Ia juga tidak menyangka jika akan pingsan. Padahal sudah ia kuat-kuatkan agar tetap berdiri kokoh selama ikut upacara. Namun karena kondisi tubuhnya yang memang sedang tidak stabil jadilah berakhir pingsan.
Azel berdiri dari duduknya. “Pakai sepatu dulu,” ujarnya sembari mengambilkan sepatu milik Dhara yang ada di lantai.
“Pelan-pelan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...