Dhara melangkah menyusuri jajaran rak buku di dekatnya. Netranya menatap teliti jajaran buku sains di depannya. Sekarang ia sedang membutuhkan pengalihan rasa cemas dalam dirinya seperti fokus mempelajari materi baru. Di dalam benaknya masih terngiang suara ambulans tadi pagi dan sedikit khawatir jika Alvan mengetahui tentang dirinya yang memiliki kecemasan terhadap sirene ambulans yang berbunyi menggema jelas di sekitarnya.
“Dhara,”
Dhara terkesiap, ia menoleh ke samping dan tersenyum tipis melihat dua orang siswi menyapanya. “Iya,” balasnya lalu kembali fokus mencari buku yang akan dibacanya.
Namun, mendengar siswi tadi berbincang akrab membuatnya melirik ke arah mereka. Mereka berdua adalah anak kelas sebelah, ia bahkan lupa siapa nama mereka, hanya tahu rupanya saja.
“Sendirian, Ra?”
Dhara kembali menoleh sepenuhnya ke arah mereka. Apa mereka tidak melihat jika dirinya berdiri sendiri di sini? Terkesan sangat basa-basi.
“Iya,” balasnya.
Memang jika tidak sendiri mau bersama siapa? Yoneta? Yoneta pasti lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di kantin makan batagor atau di kelas bermain game online daripada pergi ke perpustakaan.
“Ra, kemarin lo pulang sama Liam ya? Lo dekat sama Liam?”
Dhara mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan siswi itu. Ia meraih asal satu buku di depannya. “Iya aku pulang sama Liam. Aku permisi dulu ya, mau baca buku," ucapnya mencari alasan agar bisa segera menjauh dari mereka. Namun, perkataan selanjutnya dari siswi itu membuat dirinya menatap datar siswi itu.
“Enak ya jadi saudara angkatnya Azel. Bisa dekat sama Liam atau mungkin Alvan juga nanti.”
“Lebih suka sama siapa, Ra? Liam atau Alvan? Atau jangan-jangan Azel ya?” sahut temannya yang disambung tawa pelan penuh ejekan dari keduanya.
Dhara tersenyum getir mendengar mereka. Kenapa mereka seakan mengurusi hidupnya padahal dirinya saja tidak kenal dengan mereka?
Kini tatapannya beralih kepada Alvan yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka berdua.
Alvan berhenti tidak jauh dari kedua siswi itu dan berdehem pelan. “Gue dengar ada yang sebut nama gue, ada apa?” sindirnya kepada dua siswi yang langsung gugup karena ketahuan dirinya.
“Oh begini, kita lagi membicarakan soal lo yang bakal ikut pertandingan basket besok. Iyakan, Ra?”
Dhara menyorot datar keduanya. “Bukan,” jawabnya yang berhasil memancing kekesalan kedua siswi itu.
“Ada apa?” suara Alvan terdengar rendah namun terkesan penuh dengan penegasan kepada kedua siswi itu. “Pergi sana, di sini bukan tempat bergosip,” lanjutnya.
Kedua siswi itu bergegas pergi, begitu pun dengan Dhara yang juga memilih menyingkir dari sana. Dhara tidak berharap bertemu Alvan sekarang, cukup kejadian tadi pagi saja yang membuatnya cemas. Padahal tadi ia sudah sedikit melupakan kecemasannya saat mendengar lontaran ejekan dari kedua siswi itu. Namun, karena ada Alvan ia kembali mengingat kejadian tadi pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...