CHAPTER 18 | TRUTH BELIEF

265 25 0
                                    

Dhara menggerakkan spidol yang dipegangnya membentuk sebuah tulisan huruf kapital dengan sempurna. Saat ini, ia tengah membuat slogan atas permintaan dari Liam yang akan digunakan untuk properti pendukung pertandingan tim basket sekolahnya. Hari ini Azel dan tim basket sekolah bertanding, sedangkan ia akan menonton bersama Liam.

Tanpa Dhara sadari, Liam tersenyum geli melihat keseriusan Dhara dalam menulis slogan yang ia minta. “Serius banget sih, Ra.” celetuknya.

Dhara tersentak dan langsung mendongak menatap Liam yang duduk di seberang meja di hadapannya. “Liam, tadi katanya harus estetik.”

Liam tertawa pelan mendengar Dhara mengulang apa yang ia katakan tadi, harus estetik tulisannya.

“Iyalah! Harus estetik, kaya punya gue nih contohnya,” ujar Liam dengan percaya diri sambil menunjukkan hasil tulisannya di atas kertas.

Dahi Dhara mengernyit menatap tulisan Liam, hingga detik berikutnya ia tertawa renyah. Bagaimana bisa dikatakan estetik saat tulisan Liam di atas kertas itu cukup amburadul?

Liam melirik kertas yang diangkatnya dan melotot melihat tulisan yang ditunjukkannya ternyata keliru. “Eh Ra, bukan yang itu tapi yang ini,” ralatnya mengangkat kertas lain yang tulisannya cukup rapi.

Azel yang baru saja menuruni anak tangga langsung berbelok ke ruang tengah saat mendengar suara tawa yang terdengar seperti suara Dhara. Ia tersenyum melihat Dhara yang tertawa bersama Liam, mereka berdua duduk di lantai di dekat meja. Baru kali ini ia mendengar Dhara tertawa ceria seperti itu.

“Lam, udah sampai sini aja lo,” ujar Azel menyapa Liam. Ia kemudian melirik ke arah Dhara yang ternyata masih mengenakan piyama lengan panjang.

“Kamu belum mandi, Ra?” tanyanya kepada Dhara.

Dhara menghentikan tawanya dan menoleh ke arah Azel. Ia tersenyum melihat penampilan Azel yang sudah siap berangkat.

“Belum, Kak. Tadi mau mandi terus Liam datang. Jadi Mama suruh aku temui Liam dulu.”

Liam menutup spidol dan menyelipkan spidol ke daun telinganya, lalu menatap Azel. “Ikut rombongan atau sendiri, Zel?” tanyanya mengingat jika dulu saat ia masih ikut tim basket, mereka bertiga akan memilih berangkat dengan motornya sendiri dari pada ikut mobil rombongan.

“Sama Alvan,” jawab Azel melirik ke arah kertas yang berserakan di atas meja kaca di hadapan Liam dan Dhara. Ia menggeleng pelan, itu pasti ide Liam.

“Gue sarapan dulu ya. Lam, nanti titip Dhara. Jaga dia ya,” lanjutnya lalu melenggang pergi menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.

“Azel,” sapa Maya berada di meja makan bersama Harun.

“Sarapan dulu sini, Mama mau panggil adik kamu sama Liam.”

“Jangan Ma, biarin mereka berdua di sana dulu,” cegah Azel sembari meletakkan tas yang dibawanya ke kursi kosong. “Tadi aku sempat dengar Dhara ketawa senang bareng Liam. Biarin dulu, Ma.”

“Benarkah?” tanya Maya sedikit terkejut.

Azel mengangguk tegas. “Iya Ma. Azel tadi juga lihat sendiri,” jawabnya mengambil posisi duduk di seberang Papanya.

Maya tersenyum terharu. “Ya sudah. Mama jadi senang dengarnya,” ucapnya kembali duduk di kursi sebelah suaminya.

Harun yang mendengar itu juga tersenyum lega. Ia mendongak menatap putranya. “Kalau Liam sama Alvan main ke sini pas Papa sama Mama pergi, Dhara mau berinteraksi dengan mereka, Zel?”

Azel yang tengah mengambil makanan terhenti sejenak lalu beralih kepada Papanya. “Ya enggak juga sih, Pa. Dhara juga lebih sering di dalam kamar. Baru akhir-akhir ini aja Dhara kelihatan lebih ceria,” jelasnya lalu kembali meneruskan kegiatannya.

Truth BeliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang