“Kak Azel...”
Dhara menarik tangannya menjauh dari pintu kamar Azel. Sudah berulang kali ia mengetuk pintu itu dan memanggil Azel berharap Azel mau membukakan pintu untuknya. Ia hanya ingin berbicara, melihat kekecewaan Azel tadi membuat ia terus memikirkan Azel.
“Kak Azel,” panggilnya lagi dengan menatap getir pintu di hadapannya itu. “Kak Azel nggak mau dengar penjelasanku dulu, Kak? Aku bisa jelasin Kak.”
Di dalam kamar, Azel sudah berdiri di balik pintu. Ia mendengar semua panggilan dan perkataan Dhara kepadanya. Ia kecewa, kecewa dengan orang yang ia anggap keluarga ternyata menyembunyikan hal sepenting itu darinya. Namun, ia lebih kecewa terhadap dirinya sendiri, terutama sikap semena-menanya kepada Dhara.
Di sisi lain ia sering memerintah Dhara melakukan sesuatu sesuai keinginannya karena memang Dhara sendiri yang sangat menutup diri. Jadi, interaksi antara mereka sangat minim jika ia tidak memulai interaksi itu.
“Janji bakal jelasin semuanya sama kakak?”
Dhara yang menunduk lesu seketika mendongak menatap penuh harap pintu itu kembali saat mendengar sahutan dari Azel. Ia terdiam sejenak memikirkan jawaban yang akan ia berikan kepada Azel.
“Janji enggak nih?”
Dhara menarik napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Janji,” jawabnya, karena memang ia ke sini untuk menjelaskan apa yang ia tahu dan rasakan kepada Azel.
“Kakak pegang jawaban kamu ya.”
Tidak lama setelah balasan dari Azel terucap, pintu kamar itu terbuka dari dalam. Azel membuka lebar pintu kamarnya. “Masuk,” perintahnya kepada Dhara.
Ia mengernyitkan dahi saat melihat Dhara hanya diam menatap lurus dirinya. “Apa, Ra? Terpesona ya sama ketampanan Kakak?”
Dhara mengalihkan pandangan dan menggelengkan kepala pelan. Ia hanya memperhatikan lebam di sudut bibir Azel yang mulai memudar.
Azel memilih menarik lengan Dhara agar segera masuk ke dalam kamarnya, tidak lupa juga untuk menutup pintu kamarnya. “Kita bicara di sini aja!” serunya mendorong pelan tubuh Dhara agar segera duduk di sofa panjang yang tersedia di dalam kamarnya begitu pun dengan dirinya sendiri segera mengambil duduk di dekat Dhara.
Azel duduk menyerong ke arah Dhara, melihat Dhara menunduk dalam menghindari tatapannya ia hanya menghela napas pelan, cukup terbiasa dengan sikap Dhara yang seperti itu.
“Kak Cakra tahu kamu punya trauma, Mama Papa juga tahu. Siapa lagi yang tahu, selain mereka?” tanyanya memulai percakapan serius mereka.
“Bunda panti. Kak Cakra emang udah tahu karena dulu dia sering menemani aku sama Bunda waktu ke psikiater,” jawab Dhara mengambil jeda sejenak. Ia kemudian membenahi posisi duduknya menjadi menyerong ke arah Azel lalu mendongakkan kepala menatap Azel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...