Dhara menatap kosong Azel dan kedua teman Azel di bawah sana. Bibirnya tersenyum kecut mengingat ia tidak memiliki satupun teman dekat seperti Azel ataupun yang lainnya. Ia memiliki teman, tetapi hanya sebatas teman biasa saja, tidak seperti kedekatan Azel dan kedua temannya di sana yang bisa tertawa bersama dengan lelucon yang mereka buat.
“Dhara, sini turun!” seru Azel menyadari adik angkatnya berdiri di atas tangga.
Dhara menggeratkan genggaman pada tas selempang yang dipakainya, lalu melangkah turun mendekat ke arah Azel dengan wajah datarnya. “Apa?” ucapnya setelah berdiri dihadapan ketiga lelaki di hadapannya itu.
“Ra,” sapa Liam, lelaki bernetra cokelat gelap yang berpenampilan cukup santai dengan hoody hitam dan celana pendek abu tua di sana.
Dhara mengangguk dan tersenyum tipis, ia melirik ke arah teman Azel yang duduk di sebelah Liam, lelaki itu adalah Alvan. Ia langsung mengalihkan pandangan saat netranya tanpa sengaja bertubrukan dengan netra hitam legam milik Alvan. Ia seumuran dengan ketiga lelaki itu dan satu sekolah tetapi berbeda kelas, ia sedikit bersyukur akan hal itu karena ia tidak satu kelas dengan Azel dan kedua teman Azel.
“Mau ke mana?” tanya Azel menelisik penampilan Dhara yang terlihat siap berpergian.
“Ke swalayan depan, mau titip apa?” tawar Dhara kepada Azel.
Azel merogoh saku celananya lalu melempar selembar uang berwarna biru ke atas meja dihadapan mereka. “Camilan dan minuman.”
Dhara menunduk mengambil uang itu, “Aku pergi dulu,” pamitnya langsung melenggang pergi keluar rumah.
Dhara berjalan kaki menuju swalayan, ia menghela napas berulang kali. Maya dan Harun ada pekerjaan di luar kota, membuat ia di rumah bersama Azel, Bi Inah dan Pak Beni tukang kebun sekaligus penjaga rumah. Padahal ini adalah hari libur kenaikan kelas dua belas, tetapi rasanya bukan liburan sama sekali baginya.
Hidup sembilan tahun bersama keluarga Azel, ia bersyukur tetapi sesekali mengeluh karena sikap Azel yang masih saja dingin dan sering menyuruh dirinya saat Maya dan Harun tidak di rumah. Ia cukup sadar diri, baginya jika Azel masih dalam batas wajar ia akan mengiyakan perintah Azel. Seperti sekarang, Azel menitip kepadanya untuk dibelikan camilan dan minuman.
Dhara berdiri di tepi jalan, ia akan menyeberang jalan untuk sampai di swalayan yang tinggal beberapa meter darinya itu. Netranya bergerak gelisah saat sebuah sirine ambulans terdengar di telinganya. Ia mengedarkan pandangan ke jalan, tidak menemukan mobil ambulans tetapi suara sirine ambulans itu semakin jelas.
“Am..ambulans?” gumam Dhara memundurkan langkahnya, kedua tangannya bergerak menutupi telinganya dan netranya semakin bergerak gelisah dengan tatapan yang mulai berkaca-kaca seperti akan menangis. Kakinya bergetar saat suara sirine itu semakin keras, ia menunduk dalam dengan kedua tangan menutupi telinganya erat saat ambulans itu melewati jalan di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...