“Kamu serius naik taksi sendiri buat ke rumahnya Liam?” suara Azel mengalihkan kefokusan Dhara dari ponsel di tangannya.
“Aku udah pesan taksinya, Kak.”
Azel mendudukkan tubuhnya ke kursi yang ada di teras depan dan mengangkat satu kakinya ke atas kursi itu. “Kakak beneran nggak boleh ikut? Bahkan Alvan sekalipun?”
“Kata Tante Evita enggak perlu. Lagian kemarin lusa Kakak sama Alvan main ke rumah Liam kan?” balas Dhara sembari mendudukkan tubuhnya di kursi dekat Azel.
Azel terdiam sejenak. Merasa ada yang ganjil. Memang benar kemarin lusa dirinya dan Alvan berkunjung ke rumah Liam. Sekalian main karena sekarang libur akhir semester.
“Ingat lho Ra, kamu udah punya Alvan,” celetuk Azel. Terselip sedikit kekhawatiran itu wajar kan? Tidak ingatkah Dhara sewaktu Alvan cemburu waktu itu? Alvan hampir saja menghajar Langit setelah tahu Langit mengutarakan perasaannya kepada Dhara sewaktu di supermarket itu.
Dhara mengernyit heran. “Aku udah kasih kabar ke Alvan kok, kalau mau ke rumah Liam karena permintaan dari Tante Evita.”
Azel mendengus pelan mendengar penjelasan Dhara ditambah raut muka Dhara yang terlewat polos. “Terus tanggapan Alvan gimana?”
“Ya boleh aja, asal jangan dekat-dekat dengan Liam.”
Azel berdecih pelan, larangan seperti itu terdengar menggelikan. Namun ia tidak mau munafik, karena dirinya pun berpesan demikian kepada Kamala. Masih mending Alvan mendapat perempuan seperti Dhara yang kalem, sedangkan dirinya malah mendapatkan sosok hiperaktif seperti Kamala.
“Taksinya udah datang. Aku pergi dulu ya Kak,” pamit Dhara sambil berdiri kembali dari duduknya.
“Eh tunggu bentar! Sini salaman dulu!”
Dhara menatap heran Azel, tetapi tetap mendekat ke arah Azel dan menyalami Azel yang sudah mengulurkan tangan kanan ke arahnya.
“Kalau udah selesai terus langsung pulang! Kamu itu tanggung jawab Kakak selama Mama sama Papa enggak ada di rumah,” ujar Azel menatap Dhara dengan seriua.
“Udah sana pergi!”
“Iya. Assalamualaikum, Kak.”
“Waallaikumsalam pacarnya Alvan.”
Dhara membuang pandangan ke arah lain. “Apaan sih, Kak! Enggak jelas Kak Azel tuh!” sungutnya sebelum melenggang pergi dari sana.
Azel tertawa pelan, hingga tawanya lenyap setelah Dhara memasuki taksi. Bukan tanpa alasan dirinya melempar guyonan dan godaan kepada Dhara akhir-akhir ini. Ia hanya ingin menghibur Dhara yang dilingkupi rasa penasaran terkait peristiwa kecelakaan kedua orang tua kandungnya dan juga kenapa tanggal kematian terduga orang tua kandung Dhara sama persis dengan tanggal kematian Azkia?
Seminggu yang lalu, Dhara selalu mengurung diri di dalam kamar. Alasannya karena ingin fokus belajar untuk ujian di hari esoknya. Namun, Azel tahu bukan itu alasan utama Dhara mengunci diri di dalam kamar. Dan beruntungnya akhir-akhir ini ia berhasil mengembalikan sedikit keceriaan dari Dhara. Untuk ke depannya lagi, ia berjanji akan selalu menjaga Dhara.
Di dalam taksi, Dhara terdiam menatap ke arah jalanan luar yang dilaluinya. Ia menghela napas gusar, dirinya tidak segan untuk menolak ajakan Evita karena Evita menyinggung soal penyakit yang diderita Liam.
“Sudah sampai, Mbak,” kata sang sopir taksi menyadarkan Dhara dari lamunannya.
Dhara segera membayar tagihan taksinya lalu keluar dari taksi yang ditumpanginya itu.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum taksi itu kembali melaju pergi.
Dhara beralih menatap rumah megah yang berdiri di hadapannya. Dari arah dalam ia bisa melihat seorang pria berumur yang melangkah cepat ke arahnya. “Permisi Pak, saya Dhara. Saya ke sini karena ada keperluan dengan Tante Evita.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Belief
Teen FictionON GOING Dhara tidak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam sekejap. Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak adopsi dari panti asuhan seperti dirinya? Ia tahu dimanapun tempatnya berada, akan ada seseorang yang enggan menerimanya. Ia menc...