Angkot menepi, Lili dan Vincent segera turun. Vincent membayar ongkos kepada supir yang terlihat sangat tua, tubuhnya membungkuk. Bapak itu seharusnya tidak lagi bekerja di usianya sekarang. Mungkin karena kebutuhan hidup ia masih berjuang untuk keluarganya. Lalu angkot itu berjalan pelan menghilang setelah pembelokan. Anehnya ini bukan jalan menuju rumah Lili. Jalanan ini tampak asing.
"Kita kemana?"
"Ketemu teman gue bentar."
"Kok gak bilang. Katanya mau ke rumah gue."
Vincent meraih tangan Lili hendak menyebrang. Kepalanya celingak celinguk melihat kendaraan kencang yang enggan memberikan mereka buat melintas ke sebrang sana. Meski begitu Vincent tak gentar. Ia berjalan terus dengan membentangkan tangan supaya pengendara memperlambat kendarannya.
Vincent masih berjalan kemudian masuk ke dalam warung kayu, memesan mie instan. Mereka duduk sambil menonton acara televisi yang berukuran kecil berbentuk kotak. Persis seperti berada di kampung nenek Lili, semua peralatan di rumah sangat jadul. Nenek tidak pernah mengganti perabotan rumah dengan yang baru. Padahal banyak harta peninggalan dari Kakek, bisa buat membeli dengan yang lebih modern. Kata nenek, banyak kenangan yang tertinggal dengan keluarganya, bahkan setiap barang yang dibeli punya cerita. Ya mungkin nenek bakalan terus benostalgia ketika satu persatu orang-orang tersayang meninggalkannya. Bahkan Ibu juga meninggalkannya merantau bersama lelaki yang menjadi teman hidupnya sekarang.
Tidak membutuhkan waktu lama dua mangkok mie instan mendarat di meja. Vincent mengangkat ponsel yang berdering di saku bajunya. Kemudian berbicara dengan seorang cowok yang terdengar samar dibalik sana. Tidak lama setelah itu matanya mencari sesuatu disekitaran warung. Seorang cowok berseragam sekolah datang menghampirinya dengan melambaikan tangan lalu menutup ponsel. Cowok itu berada di satu angkot yang sama denganya tadi. Tepat duduk dihadapan Lili. Vincent terlihat kaget hingga membiarkan asap mie instan mengepul diwajahnya. Cowok itu juga dibuat terkejut. Lalu mereka bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing.
"Gue Vincent."
"Nasa."
Lalu duduk berhadapan. Vincent berkata, "Maaf. Gue belum pesan punya lo. Takut kelamaan datang."
"Ya gak apa-apa santai aja, bro. Lagian gue udah makan sebelum kesini."
Matanya melirik ke arah Lili. Kemudian Vincent memperkenalkannya, "Ini teman gue Lili."
Lili sedikit menundukkan kepala dengan sungkan sambil menyebutkan nama, "Lili."
Cowok itu menyunggikan senyum kecil di sudut bibirnya.
Cuaca siang ini sungguh panas ditambah lagi mengkonsumsi mie instan rebus, membuat Lili bertambah gerah. Vincent mengambil dua botol minuman dari dalam kulkas, memberikannnya kepada Nasa dan membukakannya untuk Lili.
"Makasih." kata Lili langsung meminumnya.
"Kalian pacaran?" tanya Nasa.
"Gak." jawab Vincent singkat.
Tidak tahu kenapa mendengar Vincent berbicara seperti itu membuatnya patah hati. Lili menelan mie rebus dengan pelan mencoba mencerna perasaannya yang kini berlarut dengan kesedihan. Lili tahu mereka cuma teman. Tapi tidak harus menjawabnya dengan cepat seakan takut ada kesalahpahaman jika tidak menjawabnya segera.
Nasa tidak merespon sama sekali. Tapi Lili tahu cowok dihadapannya sedang menyembunyikan ekspresinya. Ia menarik senyum di sudut bibirnya yang keriting dan mungil. Bentuk yang seperti itu banyak diinginkan para cewek. Hidungnya mancung dan wajahnya bersih. Berbanding terbalik dari Vincent. Sepertinya Nasa benar-benar memperhatikan perawatan kulit, yang tampak glowing meski sudah berada di bawah terik matahari. Kemudian Lili mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Wajahnya berkeringat, terdapat warna hitam samar di bawah matanya. Lalu kembali memandangi Nasa dan merasa minder melihat dirinya siang ini.
Vincent mengambil air yang sudah diminum Lili. Ekspresi Nasa kembali berubah. Ia tampak bertanya di dalam hati. Lili tahu pertanyaan apa yang tertahan dibenaknya. "Kenapa Vincent minum dibotol yang sama dengannya". Jawabannya sederhana, karena Lili sering menyisakan minuman yang masih tertinggal banyak. Kata Vincent mubazir. Sejak saat itu Vincent selalu membeli sebotol minuman untuk berdua.
"Udah kenyang." kata Lili menyisakan mie rebus di mangkuknya.
"Kebiasaan." sahut Vincent sambil berdecak. Lalu kembali menatap Nasa. "Jadi gimana kemarin? Selamat?"
"Ya untungnya gue bisa kabur. Gue dengar kemarin lo..."
Vincent berdehem seakan tidak mau membahasnya. Nasa paham Vincent tidak ingin Lili tahu perihal dirinya ditangkap kemarin malam. Lalu kembali mengganti pertanyaan lain, "Kemarin lo cepat banget pulangnya?"
"Iya soalnya kemarin gue harus nganterin Lili pulang. Gak enak bawa cewek sampai demo selesai."
"Emangnya kemarin itu belum selesai, ya."
"Ya belumlah." jawab Nasa kembali kemudian terdiam sejenak mengganti topik lain, "Lo gak liat diberita kalau demo bisa sampai malam."
"Gue gak sempat liat, soalnya capek banget pulang dari demo kemarin. Belum lagi di kaki gue ada lukanya. Mendingan gue tiduran daripada nonton berita."
Vincent bisa bernapas lega sejenak, "Lo sekolah dimana?" tanyanya pada Nasa.
"Sebenarnya kalian temenan gimana, sih?" sambung Lili sejak tadi penasaran.
"Kami kenal lewat grup demo." jawab Vincent
"Apa? Kok bisa?"
"Kita bisa kenal dari temannya teman gue." kata Vincent.
"Iya. Dan gue kenal dengan temannya teman gue juga. Jadi temannya teman kita ngenalin kita dan akhirnya bisa buat grup untuk menegakkan keadilan di negeri ini." ujar Nasa ribet.
"Gue gak paham kenapa kalian terlalu peduli dengan negeri ini. Padahal kalian cukup belajar dengan baik, mengikuti peraturan yang ada dan hidup dengan damai." kata Lili kembali meneguk minuman di botol sampai habis.
Nasa mendorong minuman miliknya ke arah Lili, "Minum aja punya gue. Kitakan udah jadi teman."
Lili menerima pertemanan ini dengan meminum dibotol yang sama dengan Nasa. Sedangkan Vincent meremukkan botol plastic ditangannya.
Dari ujung jalan terlihat sekumpulan pelajar berseragam putih abu-abu berlarian sambil berteriak, juga dari arah yang berbeda dengan seragam yang sama juga melakukan hal yang sama. Membawa senjata tajam dan alat berbahaya lainnya dengan mengacungkan ke atas sebagai tanda perang akan dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.