Kembali

56 10 0
                                    

Lili duduk di koridor, menunggu Vincent muncul dihadapannya. Ini merupakan jalur satu-satunya menuju kelas. Sekarang waktu menunjukkan pukul 06.50. Namun sosoknya belum juga kelihatan. Lili masih sabar menunggu dalam keadaan gusar. Sejak kemarin malam Vincent belum juga menghubunginya. Padahal panggilan tersebut terhubung ke nomor ponselnya. Jika malam itu ia ketiduran, seharusnya Vincent bisa memberinya kabar pagi ini agar Lili tidak khawatir.

Waktu terus berjalan sampai bel masuk berbunyi. Lili masih betah duduk menoleh ke arah orang-orang yang berlarian menuju kelas karena takut terlambat. Lili juga merasakan hal yang sama dengan mereka. Kaki ini rasanya ingin berlari menuju kelas. Namun terasa berat. Ada luka yang membuatnya masih betah duduk di sini. Pokokya Vincent harus bertanggung jawab atas apa yang dialaminya. Setidaknya membantunya berjalan ke kelas, menaiki satu persatu anak tangga.

Sudah lewat lima menit sejak bel masuk berbunyi. Sosoknya masih belum muncul. Lili berdiri dengan hati-hati. Kakinya masih sakit untuk di bawa melangkah. Dengan pelan Lili berjalan terseok berharap ada tonggak yang bisa membantunya untuk melangkah. Dari arah belakang, wangi yang tidak asing menyergap. Lili menoleh ketika satu tangan merangkul pundaknya, membantunya berjalan menuju kelas. Vincent muncul dengan senyum lebar lalu menyapanya. "Masih sakit?"

"Uhm.." Lili berdehem. Senang melihat Vincent bisa masuk sekolah. Kekhawatirannya kemarin sepertinya terlalu berlebihan.

"Kalem banget. Marah lo sama gue?"

Lili menggeleng tanpa suara. Sebelum masuk kelas mereka memisahkan diri berjalan menuju ke bangku masing-masing. Guru baru saja masuk ke dalam kelas tidak lama mereka duduk. Tanpa mengabsen guru berdiri di tengah kelas dengan wajah serius. Menatap sekelas sebelum mengeluarkan suara.

Tidak tahu kenapa situasi di kelas sedikit menegangkan. Pandagan guru di depan membuat kelas menjadi tenang.

"Belum saatnya bagi kalian buat menyuarakan aspirasi kepada pemerintah dengan cara mengikuti demo. Ada saat yang tepat kalian bakalan menjadi penegak hukum yang adil. Makanya dari sekarang kalian harus belajar dengan giat. Supaya di masa depan jika ada diantara kita yang akan menjadi wakil rakyat. Kalian harus berpihak kepada rakyat. Atau jika menjadi mahasiswa nanti kalian boleh manyuarakannya melalui ilmu yang kalian dapatkan hari ini. Ibuk bangga sekali jika kalian peduli dengan negeri ini. Tapi kalian harus paham dengan apa yang kalian sampaikan. Tidak hanya terprovokasi dengan ajakan yang beredar dari luar sana. Kalian harus tahu pin-poin yang harus disampaikan dengan pemerintah. Kalian juga boleh bersuara lantang ketika ada aturan yang merugikan rakyak. Itu hak kalian buat melawannya. Tapi ada saatnya. Jadi sekarang kalian harus belajar supaya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa." ujar guru dengan tegas.

Tidak ada yang menyahut perkataan guru di depan, perkataannya masih terngiang di benak Lili. Benar kata guru. Belum saatnya murid SMA untuk terjun ke lapangan buat menyuarakan hati nurani rakyat, memang terkadang peraturan negara membuat rakyat sengsara. Tidak memikirkan rakyat menengah ke bawah. Lili hanya tahu ketika Mama di rumah mengeluh tentang harga bahan pokok yang mahal, bahan bakar naik, namun keuangan tidak kunjung meningkat. Belum lagi token yang tiap sebentar berbunyi dan pembelian gas yang langka di pangkalan sekitar.

Guru kembali duduk ke tempatnya sambil mengabsen satu persatu murid di dalam kelas. Semuanya hadir. Kemudian guru membacakan nama-nama untuk maju ke depan kelas. Ada sekitar belasan orang berdiri lalu disuruh keluar untuk berjemur di lapangan, merenungkan kesalahan sambil hormat bendera. Nama yang terpanggil adalah daftar murid yang ikut demo kemarin. Untungnya Lili dan Vincent selamat dari hukuman tersebut. Namanya tidak terdaftar dalam peserta demo.

Lili mengurut dada lega. Kemudian melirik Vincent yang duduk berjarak tiga meja darinya, tampak biasa saja. Vincent memutar-mutar pena dijarinya, kemudian menyematkannya di telinga. Vincent balik menatap Lili yang kepergok sedang memperhatikannya, memberikan satu kedipan yang cukup membuat jantung Lili hampir copot. Lili kembali mengurut dada, menyadarkan diri.

Lengan Vincent terbalut kain kasa tebal. Tangannya yang terjulur di atas meja tampak meringkuk. Mungkin itu luka kemarin hasil dari provokasi dari luar. Mungkin saat ini Vincent sadar bahwa aksinya kemarin merupakan kesalahan yang harus direnungi.

Lili masih penasaran tentang kejadian kemarin. Apa yang dilakukan Vincent setelah pulang dari rumahnya dan kenapa ponselnya tidak dijawab. Dan masih banyak pertanyaan lain yang bersenggayut dibenaknya. Lili harus menginterogasinya lebih dalam sebelum pikiran buruk itu muncul kembali.

Lihat saja selama di kelas. Vincent lebih banyak membaringkan kepalanya di atas meja. Tapi pemikirannya selalu tajam membahas soal negara. Tangannya tetap bergerak di atas buku. Mungkin buku itu hanyalah coretan untuk menemani kegabutannya selama di kelas.

Pandangannya jarang melihat ke depan. Lebih sering mengarah ke luar pintu yang tidak ada apa-apanya. Vincent lebih suka membolos daripada belajar. Padahal belajar lebih seru daripada di luar. Atau kenapa tidak berhenti sekolah saja daripada harus membayar bulanan sekolah tetapi tidak belajar. Lili belum pernah bertanya seperti itu kepada Vincent. Takut cowok itu bakalan tersinggung dengan pertanyaannya.

Kemudian Lili menuliskan pertanyan-pertanyaan yang akan diajukan nanti kepada Vincent. Kali ini harus lebih terbuka. Daripada harus dipendam bertanya dengan diri sendiri, membuat penasaran yang akan berakhir pada pikiran buruk.

Bel pergantian pelajaran berbunyi. Vincent bersiap membawa tasnya kabur keluar. Namun dengan cepat Lili melangkah, menghadangnya di ambang pintu.

"Mau kemana?"

Vincent yang berlari, mengerem kecepatannya hingga memeluk Lili tanpa sengaja.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang