Rencana demo

28 8 0
                                    

Malam itu Vincent berkumpul di gedung yang terbengkalai bersama mahasiswa yang akan melanjutkan aksi demonya esok hari. Ini bukan lagi tentang siapa yang pantas maju atau berapa umur yang masuk ke dalam kualifikasi peserta demo. Ini tentang solidaritas, kemanusiaan, dan persatuan untuk memberantas ketidakadilan. Vincent bertekad untuk tidak lagi mengikuti demo seperti yang dilakukan sebelumnya. Baru tadi saat di sekolah guru menyadarkannya dan kini Vincent tersulut oleh masalah yang dihadapi oleh sebagian orang tua mahasiswa. Ini soal empati yang dirasakannya. Soal kekompakan dan ini untuk kelangsungan hidup.

Vincent yang masih memakai seragam duduk melingkar membentuk rencana yang akan dilakukan besok. Salah satu mahasiswa berkata dengan lantang, "Besok kita harus berhasil bertemu dengan pemimpin perusahaan."

Serentak yang lainnya mengangkat tangan sebagai persetujuan sambil bersorak, "Semangat."

Sebenarnya Vincent sudah tidak mau melakukannya lagi. Rasa sakit akibat pukulan dari bokapnya masih terasa. Dan luka itu belum sembuh, masih ada melekat di bagian tubuhnya, itu pun belum kering. Vincent mengangkat lengan bajunya. Di sana masih ada luka yang harus disembuhkan. Tidak ada yang tahu perihal ini. Termasuk Lili, ia sengaja menyembunyikan masalah ini darinya. Takut dia khawatir dan Vincent sengaja mematikan ponselnya malam ini untuk menghindari kekhawatiran dari orang-orang terdekatnya.

"Siap!" kata salah satu mahasiswa dengan kobaran semangatnya.

Vincent tersenyum getir, hatinya merasa ragu untuk melakukan ini, "Siap."

Sekumpulan orang berpakaian hitam dan menutupi wajah datang membubarkan kerumanan dengan memukulkan tongkat ke sembarang arah. Ke arah orang-orang yang akan merencanakan demo. Jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan sehingga Vincent dan kawan-kawannya tidak bisa membendung pukulan bertubi-tubi yang diarahkan ke mereka. Vincent berusaha menghindar meski sudah beberapa pukulan mendarat ditubuhnya. Orang-orang itu seperti membabi buta. memukul dengan sekuat tenaga tanpa belas kasihan. Beberapa orang sudah tepar, pasrah tidak sanggup melawan. Sedangkan Vincent dengan tertatih berlari mencari persembunyian.

Tidak tahu bagaimana orang-orang itu bisa tahu tempat perkumpulannya. Yang jelas saat ini Vincent berbaring sejenak dibalik tembok rumah warga. Tubuhnya sakit dan Vincent sudah tidak sanggup lagi berdiri. Vincent berpikir kembali jika ia sampai tepar dihalaman rumah orang mungkin akan muncul berita di tv dengan opini yang tidak logis. Maka Vincent segera bangkit dari rasa sakitnya.

Mengambil pelajaran dari kejadian sebelumnya. Vincent sudah memarkirkan motornya jauh dari tempat perkumpulan, di sebuah mini market. Vincent mengambil motornya yang sudah dijaga oleh tukang parkir yang akan segera pulang. Sudah waktunya mini market ini tutup. Karena masih ada satu motor lagi terparkir dengan sabar kang parkir menunggu pemiliknya datang.

Vincent muncul dengan pelipis yang mengalir darah. Sebelah tangannya memegang perut. Tuang parkir langsung mendekat membantu Vincent mendudukinya di kursi.

"Kamu kenapa?" kata tukang parkir yang masih berusia muda. Umurnya sekitar tiga puluhan.

Vincent mendesah kesakitan belum menjawab. Matanya terpejam sejenak lalu mengucap, "Boleh belikan minuman bang."

Tukang parkir langsung berdiri masuk ke dalam mini market membeli minuman. Lalu segera kembali meminumkannya ke mulut Vincent. "Pelan-pelan." katanya khawatir. "Sebenarnya kamu kenapa?" Pertanyaan itu kembali terdengar ditelinganya.

Dengan tertatih Vincent menjawab, "Gue dipukulin orang yang gak dikenal bang."

"Dimana?" katanya lebih kaget lagi.

"Di sana bang? Di belakang gedung yang udah gak kepake." Kini desahannya sangat kuat. Vincent berusaha untuk berdiri mengambil motor.

"Mendingan telfon orang tua kamu aja. Biar bisa dibawa pulang." saran tukang parkir menahannya untuk tetap di sini.

Vincent menggeleng kuat. Saran itu sama saja seperti menjerumuskannya ke sarang ular. Melilitnya berulang kali sampai mati.

"Yakin mau bawa motornya." kata tukang parkir meyakinkan. Dilihat dari kondisinya Vincent seperti tidak sanggup untuk berbuat apa-apa.

Vincent sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan suara. Ia membelokkan motornya dan meninggalkan tukang parkir sendirian. Vincent bingung harus pulang kemana. Jika kondisinya seperti ini sudah tahu apa yang akan terjadi. Ia akan menjadi sasaran empuk menjadi pelampiasan amarah bokapnya.

Tanpa sadar dalam kebingungan motor Vincent berjalan mengarah ke rumah Lili. Masuk ke dalam gang dan berhenti tepat di depan pagarnya. Lama Vincent memandang rumah Lili tanpa disadari, ada Ayah Lili yang sedang duduk termenung di beranda rumah.

Sambil memperbaiki kacamata Ayah Lili berdiri melangkah membuka pagar.

Vincent tersentak, ingin kabur namun sudah terlanjur ketahuan. "Om." kata Vincent segera menyalami.

Sebelah tangannya masih memegang perut sedikit membungkuk.

"Kamu kenapa lagi?" Ayah Lili merangkulnya masuk ke rumah.

Mereka duduk di beranda rumah. Lili yang sedang maskeran nyamperin Ayahnya untuk masuk ke rumah. Waktu menunjukkan jam sepuluh malam. Sudah waktunya tidur. Melihat kehadiran Vincent, Lili kaget, "Vincent muka lo." Reflek tangannya mengatup ke wajah Vincent.

Ayahnya berdehem, "Gak liat Ayah ada di sini?"

Lili melepaskan tangannya dari Wajah Vincent. Pelipisnya berdarah kini napasnya tersengal.

"Bawa masuk." kata Ayah khawatir mamapahnya masuk ke rumah.

Ibu yang baru selesai menonton tv langsung berdiri ikut memapah Vincent duduk ke bangku.

"Vincent kenapa?" kata Ibu khawatir langsung melangkah ke belakang.

Lili yang tidak tahu harus berbuat apa mengajukan pertanyaan, "Lo kenapa?"

Ayah menyambung dengan pertanyaan yang sama, "Iya. Kamu kenapa?"

Kemudian Ibu kembali membawa kotak P3K yang baru dibeli kemarin. Karena sebelumnya Lili pernah pulang dalam keadaan luka. Sebagai antisipasi kalau ada kejadian yang sama terulang, peralatan ini dapai digunakan lagi. Dan sekarang Vincent muncul dalam keadaan lebih parah.

Vincent ditelentangkan di bangku panjang. Lalu dengan khawatir Ibu memegang tangan Vincent, "Vincent kenapa?"

Vincent meringis kesakitan. Ia menarik tangannya.

Karena penasaran Ibu menarik lengan baju Vincent menampakkan banyak luka basah yang belum terobati. Mulut Lili setengah terbuka ikut merasakan sakitnya Vincent.

"Ini kenapa?" kata Ibu sambil mengobati luka yang dialami Vincent.

Vincent masih belum menjawab. Ia memilih memejamkan mata untuk menghindari pertanyaan beruntun dari keluarga itu.

Lili membantu membuka jaket yang dikenakan Vincent supaya Ibu lebih leluasa mengobati lukanya. Tubuhnya terbaring lemah tidak berdaya. Lili mengambil tugas buat mengobati wajahnya, ibu bertugas mengobati kedua tangannya dan Ayah bertugas mengobati kakinya yang tidak kalah penuh Luka kecil namun memenuhi kakinya.

"Lo kenapa, sih sebenarnya." kata Lili menaruh alkohol ke wajahnya yang terluka. Vincent teriak mengepalkan tangan.

"Pelan-pelan." pintanya.

"Ini resikonya kalau lo berbuat macam-macam." Lili memberikan penekanan di wajahnya.

"Auw." Kepalanya sedikit terangkat. Belum lagi dibagian tubuh lainnya yang saat sedang diobati juga tidak kalah sakit.

Setelah pengobatan pertama selesai. Vincent tertidur pulas di atas kursi. Karena di rumah ini cuma ada dua kamar. Terpaksa Vincent harus menginap di kursi depan. Lili menyalakan kipas tepat di hadapannya untuk mengusir nyamuk dan selimut supaya tak kedinginan.

Sebelum masuk kamar. Lili memandangi wajah cowok itu sejenak sambil berpikir tindakan apa yang sudah dilakukannya diluar sana.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang