Warung Makan

28 8 0
                                    

Vincent melihat rotan andalan guru bersanggul tinggi tertinggal di bawah meja. Rotan ini sangat berguna buatnya ketika murid ribut di dalam kelas. Ketika rotan ini mendarat di atas meja dengan keras maka kelas akan hening seketika. Tidak banyak kata yang terucap hanya dengan satu tindakan saja kelas akan tenang. Lalu Vincent mengambilnya untuk memberikannya kepada guru bersanggul tinggi sekaligus berterima kasih atas nasehat tadi. Lili yang baru saja memasukkan buku ke dalam tas memanggilnya, "Tungguin gue."

Namun Vincent berlalu begitu saja. Itu sudah menjadi cirri khasnya. Padahal telinganya cukup lebar buat menampung suara Lili. Lalu buru-buru mengejar Vincent dan sebelum keluar Lili menyapa kedua temannya, "Gue duluan."

"Yah." Ada kekecewaan dari suara Elsa. Mungkin Elsa pengin mengajak Lili kesuatu tempat tapi keburu pergi.

Lili tidak menemukan sosok Vincent di parkiran. Tidak mungkin Vincent meninggalkannya begitu saja. Kemudian Fadel muncul dengan cengiran kuda, "Hayo mau kemana?"

Anehnya Nasa juga muncul bersamaan dengan Fadel langsung menawarkan tebengan, "Mau pulang bareng gue."

Fadel langsung nyeletuk, "Cie ada yang jatuh bukan buah. Tapi jatuh cinta."

"Apaan sih, lo." kata Lili merasa perkataan Fadel bisa saja memancing perasaan diantara mereka.

Nasa cuma tersenyum setuju dengan perkataan Fadel.

Fadel mendorong punggung Nasa, "Pakai malu-malu lagi lo."

"Lagian ngapain lo cie-ciein gue sama Lili. Bukannya Lili ada rasa sama Vincent." kata Nasa dari awal sudah tahu situasi hubungan mereka berdua. Saling suka tapi gengsi buat ngomong duluan.

"Sejelas itu, ya." sahut Fadel kalem.

"Sok tau lo. Gue gak suka Vincent." tegas Lili berbohong. Menyesal sudah mengucapkan kalimat ini. Lagian buat apa menjelaskan dengan kedua cowok ini.

Fadel menyikut lengan Nasa, "Sikat bro."

"Jadi gue bisa tebengin lo dong." sambung Nasa.

"Gimana sih, bro. Bukan gitu ngomongnya. Gini.." Fadel mencontohkan dengan gaya cool "Jadi lo mau jadi pacar gue." Gaya bicaranya lebih kayak Vincent ngajak berantem.

"Kok langsung nembak sih." seru Lili

Nasa dan Fadel saling pandang melempar senyum. Lalu terkekeh.

"Gue mau pendekatan dulu sama lo. Pengin tahu apa kesukaan lo, kebiasaan lo. Dan semuanya tentang lo. Kalau udah mantap baru deh, gue tembak." Ada keraguan di benak Nasa. Takut cintanya tidak akan terbalas.

"Bukan itu maksud gue." Lili menutup wajahnya, malu.

"Udah gak usah pakai malu segala. Senangkan, lo. Ada dua cowok yang deketin. Tinggal pilih aja." Lagi-lagi Fadel ngelantur.

"Malas gue ngomong sama lo." balas Lili

"Tapi senangkan ngomong sama Nasa." Goda Fadel berusaha menyatukan mereka.

"Gue mau pulang." Lili melangkah namun Fadel lebih cepat menarik rambutnya yang terikat hingga tergerai. "Auw sakit!"

"Jangan pulang dulu. Nasa mau traktir kita."

Lili berbalik tidak jadi pulang, lebih memilih makanan gratis. Sementara menunggu Vincent balik, Fadel masih betah nyerocos nyomblangin Lili dan Nasa, "Entar lo sama Nasa naik mobil. Biar gue sama Vincent. Basuskan rencana gue."

Nasa menepuk pundak Fadel dan melakukan high five, "Makasih pengertiannya."

"Gue boleh pesan yang banyakkan?" seru Fadel.

Nasa mengangguk pasrah. Lagian ini demi kelanjutan hubunganya dengan Lili. Cukup sulit meluluhkan hati cewek yang sudah terlanjur menyukai cowok lain. Butuh proses yang cukup lama buat meyakinkan Lili.

Vincent kembali dengan rotan. Persis seperti penghuni hutan yang sedang berburu. Wajahnya dipenuhi jambang yang semakin lebat.

Fadel terkekeh, "Woi ngapain lo bawa-bawa rotan."

"Diam lo." tandasnya.

Kemudian ibu dengan sanggul tinggi berlari kecil dengan sepatu tingginya, "Vincent mau dibawa kemana rotan ibu."

"Tadi mau saya balikin bu." seru Vincent menyerahkan rotan ke tangan guru.

Vincent berjalan ke parkiran mengambil motor bersiap mengantar Lili pulang, "Yok naik." Kemudian Fadel naik memeluk Vincent dari belakang.

"Kenapa jadi elo yang naik."

"Biarin Lili pulang pakai mobil. Kasian dia tiap hari kena angin duduk." kata Fadel mempererat pegangannya.

"Angin duduk darimana?" kata Vincent semakin bingung.

Fadel memukul helm Vincent, "Udah jalan aja. Ikutin mobil Nasa."

"Brengsek lo!"

Di atas motor Fadel masih saja ngomong aneh. Saat lampu merah menyala disana ada kesempatan buat ngomporin Vincent yang masih cemberut, "Bro. Lo gak nembak Lili. Entar keduluan Nasa, nyesal seumur hidup lo."

"Lo bisa diam gak?"

Fadel melanjutkan, "Lo liat di kanan lo. Kayaknya Nasa mulai suka sama Lili."

Vincent melirik mobil yang berhenti di sebelahnya. Tampak dari kaca mobil mereka berdua sedang mengobrol. Lalu kembali fokus pada lampu lalu lintas yang akan berubah bewarna hijau. Sedangkan Fadel memperhatikan raut wajah Vincent dari arah spion. Merasa berhasil sudah mengompori temannya.

Nasa berhenti di salah satu warung makan. Tempatnya sederhana namun ramai pengunjung.

Fadel turun dari motor, "Disini tempatnya." seru Fadel memperhatikan warung kayu dengan penjual yang sudah berusia senja. Dugaan sebelumnya Nasa akan mengajaknya ke kafe yang lagi hits.

Tempatnya terlalu penuh. Bahkan Nasa saja bingung mencari tempat yang kosong. Lalu pelayan warung menghampiri mereka, "Di sana ada tempat yang kosong." Dia menunjukkan tempat lesehan. Lalu memesan makanan. Disini menunya tidak banyak. Hanya ada ikan bakar dan ikan goreng, ayam bakar dan ayam goreng. Minumannya juga ada dua macam es teh dan jus jeruk. Setelah memesan tinggal menunggu pesanannya datang.

Lili membuka percakapan diantara suasana bete ini, "Vincent nomor sepatu lo berapa?"

"Selama itu kalian berteman, lo gak tau nomor sepatu Vincent." celetuk Fadel.

"Gue gak nanya sama lo."

"Ngapain sih lo dari kemarin nanyain nomor sepatu gue. 39." jawabnya datar.

Lili mengangguk. Pengin memastikan nomor ukuran sepatu yang ada di rumah.

"Nomor sepatu gue juga 39." jawab Nasa.

"Gue 40." sambung Fadel tidak mau kalah.

Lili tidak ingin berdebat apapun dengan Fadel. Makanan pun datang.

"Porsinya sesuai permintaan lo, kan?" seru Nasa cengengesan.

Teka Teki SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang