Lili menghempaskan tubuhnya ke kasur. Sebelah tangannya menggapai ponsel di atas nakas. Lalu mengecek instagram milik Vincent yang dibuatnya minggu lalu. Ada satu notifikasi pertemanan. Lili membuka akun tersebut dan melihat profilnya. Tangannya mengambang lama di atas layar bingung harus menerima atau mengabaikannya. Masalahnya follower kedua dari akun Vincent adalah Lona. Cewek yang sering menjadi perbincangan di kelas karena sudah lama menyukai Vincent. Cewek yang secara terang-terangan menampakkan ketertarikannya kepada Vincent. Justru Lili saja tidak berani menunjukkannya cuma bisa berkata lewat sindiran.
Lili bersandar di kasur melihat postingan Lona lainnya. Jujur saja selama berteman dengan Lona tidak pernah saling follow. Lili juga tidak pernah merasa dekat dengan cewek itu. Pertemanan mereka juga agak canggung. Kalau tidak ada Elsa mungkin mereka tidak akan pernah mengobrol.
Postingan Lona cukup banyak. Dia cantik dan menarik. Namun cukup jutek untuk didekati. Jarang-jarang ada orang yang bisa berteman dengan Lona. Cuma Elsa dengan sikap nyablaknya yang bisa meluluhkan hati Lona. Meski sering dicueki Elsa bisa memahami mood Lona yang sering berubah.
Lili melihat satu per satu postingan Lona. Ada satu satu foto yang memperlihatkan kerjasama kelompok di kelas. Di sana ada Vincent dengan wajah tanpa jambang. Dulunya wajah Vincent tidak terlalu banyak rambut. Sekarang seperti manusia yang lama tinggal dihutan. Tidak terawat dan juga terkesan tua. Kalau ada kesempatan Lili pengin mencukur habis semua jambang di wajah Vincent.
Lona berdiri di samaping Vincent. Matanya menunjukkan kebahagiaan, berbalik dengan Vincent mukanya datar kayak jalanan aspal. Tidak tahu dimana letak istimewanya Vincent. Lona begitu tertarik dengan cowok itu. Cowok yang sering mengabaikannya. Padahal banyak cowok cakep lainnya yang tertarik dengan Lona namun tidak pernah digubris.
Lili juga berpikir kenapa dia bisa tertarik dengan Vincent. Padahal Vincent selalu berbicara ketus kepadanya. Tidak ada romantisnya. Mungkin karena terlalu nyaman atau terlalu sering bersama. Rasa itu tumbuh karena terbiasa sering melakukan kegiatan bersama.
Sambil memejamkan mata Lili menkonfirmasi pertemanan Lona. Ada penyelasan yang menyergap. Kemudian Lili mendapat pesan dari Lona, Senang banget sekarang lo udah punya instagram
What!
Lili meremas kedua tangannya kemudian log out dari akun Vincent. "Mati gue." Sambil menepuk jidat.
Lili mengembalikan ponselnya di atas nakas. Lalu menutup wajahnya dengan bantal. Membayangkan Vincent akan marah jika mengetahui hal ini. Bayangkan saja Vincent yang super duper cuek akan marah besar. Lili tidak mau Vincent berubah jadi hulk.
Ponsel di nakas berbunyi dilayar ada panggilan masuk dari Vincent. Pas banget momentnya. Vincent seperti tahu situasi yang dialaminya. Lili tidak langsung mengangkat panggilan itu. Membiarkan panggilan itu bertahan lama sambil menggigiti jarinya. Kalau sampai Vincent tahu kalau Lona mengiriminya pesan. Tidak tahu apa yang terjadi. Soalnya Vincent tidak pernah memperlihatkan ekspresi apapun, selain muka datarnya.
Panggilan pertama berhenti. Vincent kembali meghubunginya. Melihat layar ponsel terus menyala Lili mengangkatnya dengan ragu, "Halo."
"Lo dimana?"
"Di kamar? Kenapa?"
"Gue di depan rumah lo. Bisa keluar sebentar."
Lili turun dari kasur menyibakkan jendela. Mengintip sedikit keluar jendela. Vincent yang sadar melambaikan tangan dari balik pagar. Kemudian melihat jam diponsel menunjukkan pukul sembilan malam. Terakhir kali Vincent datang ke rumah dalam keadaan terluka dan berpikir kembali mungkin saat ini Vincent mengalami hal yang sama seperti kemarin.
Lili menutup panggilan segera menemui Vincent. Di ruang depan ada Ayah dan Ibu yang sedang nonton sinetron. Ayah melongo melihat adegan yang tak masuk akal. Sedangkan ibu dengan mata melotot ikut berkomentari jalan ceritanya. Meski sering kesal ibu masih mengikuti sinetron yang sudah tayang sebanyak 500 episode. Sudah banyak pemain yang bertambah. Jalan ceritanya tidak keruan dan terlalu banyak orang jahat. Andai saja sinetron Indonesia dibuat seperti di luar negeri yang bisa diterima nalar. Aku yakin penontonnya tidak bakalan banyak yang darah tinggi. Kadang Ibu sering mumet sendiri melihat peranan antagonis yang selalu menang.
Lili berdiri di depan pintu ikut menyaksikan sinetron itu sekilas lalu berkata, "Yah. Lili keluar sebentar boleh?"
"Kalau Ayah larang memangnya kamu mau nurut." kata Ayah matanya menatap televisi.
"Udah keluar sana." kata Ibu tidak mau terganggu.
Lili bisa selamat karena tidak perlu menyiapkan alasan untuk bisa ketemu Vincent. Biasanya Ibu membelalakan mata dengan sebelum akhirnya mengizinkan Lili keluar.
Lili membuka pintu.
"Tutup lagi." seru Ibu. Tatapannya fokus ke tv.
Vincent membunyikan gembok pagar. Buru-buru Lili mendekat membukakan pagar. "Jangan berisik!"
Vincent mendorong motornya masuk sampai ke halaman. Kemudian membuka jaket dan menyangkutkannya dikursi.
"Ngapain malam-malam kesini?" kata Lili ikut duduk di sebelah.
"Mau singgah aja. Bosan gue dijalanan."
"Lo diusir? Kenapa? Lo berantem lagi?" Lili mengajukan pertanyaan beruntun.
Disambut dengan ekspresi datar dari Vincent, "Kenapa lo bisa tau."
Lili merasa frustasi. Kesalahan apa yang dibuat Vincent sampai dia harus diusir keluar. Tampangnya juga tidak meyakinkan untuk seorang anak yang tinggal dijalanan. Vincent terlalu sehat untuk anak yang tinggal di luar rumah. Tidak seperti anak kucing kelaparan yang merintih. Jalannya juga normal. Begitu juga dengan motornya bisa berjalan dengan baik. Tidak kehabisan bensin.
"Lo udah makan?" Meski begitu Lili tetap memperhatikannya.
"Udah. Gue daritadi makan angin. Udah kenyang gue. Perut gue juga udah kembung." Vincent melemparkan guyonan dengan datar.
"Serius. Lo cuma makan angin. Mau gue ambilkan makanan." Lili bangkit dari tempatnya.
Vincent menahannya, "Gak.. gak usah. Gue bercanda. Gue udah makan dan gue masih dianggap anak sama orang tua gue."
"Parah lo! Gue pikir beneran diusir. Masalahnya kamar gue cuma ada dua. Itu juga udah ada penghuninya."
"Kalaupun diusir gue bakalan sewa hotel buat nginap. Masak iya di rumah lo." sambungnya.
"Gaya-gayaan lo mau nyewa hotel. Kayak punya duit aja." cemooh Lili tidak percaya.
"Terserah lo deh kalau gak percaya gue gak maksa." Kemudian Vincent berdiri mengambil jaketnya yang tersampir dikursi, "Gue balik dulu. Selamat malam. Jangan sampai telat datang."
"Cuma gitu doang."
"Iya. Terus lo mau apalagi." Lili melangkah menaiki motornya. Lalu berbelok sejenak sebelum melajukan kendaraannya. "Ingat kata gue tadi."
"Jangan telat, kan?"
"Bukan. Kalau mau dekat sama cowok kenalin ke gue dulu. Biar gue nilaiorangnya. Jangan anggap semua cowok itu baik." Vincent menggas motornya keluar pagar.
Belum sempat berkomentar Vincent sudah menjauh mengendarainya dengan kencang.
"Jangan ngebut-ngebut." teriak Lili. Percuma saja teriak. Toh Vincent tidak akan mendengar.
Lili meresap kembali perkataan Vincent perihal cowok yang akan dikencaninya nanti. Cowoknya aja belum ada gimana mau ngenalin. Kayaknya Vincent terlalu parno sampai terlalu khawatir dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.