Sejak sampai kesini, genggaman Vincent tak lepas dari tangan Lili bahkan semakin erat dan Lili juga tidak mau melepaskannya. Ini tidak boleh berakhir begitu cepat. Sosok Vincent terasa tidak nyata bagi Lili yang masih bengong berjalan di sisi Vincent. Cowok ini semakin ganteng tanpa brewokan yang menyelimuti wajahnya.
"Kenapa liatin gue terus. Emang gue secakep itu, ya." Sambil menoleh Vincent menghentikan langkahnya.
"Ini beneran elo, kan, Vincent?" Lili ingin memastikan kembali cowok yang bersamanya sekarang. Vincent yang biasa cuek dan jarang senyum, irit bicara dan ini sama sekali bukan seperti dirinya.
Vincent mengacak rambut Lili dengan gemas kemudian merapikannya kembali dengan lembut sembari menatap intens ke arah Lili yang sedang berusaha memahami situasi sekarang. Cowok itu kembali memeluknya, kini lebih erat lagi dan membelai rambutnya dengan lembut sambil berbisik lirih, "Gue kangen banget sama lo." Perlahan pelukan itu terbuka. Kedua tangan Vincent menggenggam bahu Lili yang mungil.
"Lo kenapa mendadak berubah gini?" sambil menyerngit Lili ikut menatap wajah Vincent yang ceria. "Sebenarnya lo mau apa, sih?"
"Gue mau ngeliat lo lebih lama lagi. Hari ini lo bakalan jadi milik gue dan gak boleh protes."
"Tapi gue..." protes Lili yang mendapat bungkaman dari Vincent.
"Lo pernah nonton film 'My heart'?"
"Lo mau ngajak gue naik sampan?" sambut Lili dengan riang.
Vincent mengangguk menyunggikan senyum kecil. Kali ini Lili yang memeluk Vincent dengan erat.
"Makasih ya, udah ngajak gue kesini." Reflek tangan Lili merangkul Vincent berjalan menuntunnya menuju sampan tampak di tepi danau. "Sampannya yang itu, kan?"
Seorang bapak juga sudah menunggu di sana dan membantu Lili dan Vincent menaiki sampan. Pesan terpenting yang dikatakan bapak pemilik sampan adalah dayungnya jangan sampai tenggelam. Lili tertawa mengingat banyak adegan film yang terjadi saat kedua pasangan menaiki sampan dengan tidak sengaja dayungnya terjatuh dan bakalan terjebak di tengah danau.
"Apa yang sedang lo bayangin?"
Lili mengulum senyum menutup mulutnya, "Gak ada." Jawabnya di sisa tawa.
"Hari ini kita gak usah panggil lo, gue lagi?" kata Vincent ketika baru saja duduk dihadapan Lili.
"Maksudnya?" kata Lili masih belum paham.
"Ya maunya panggilan yang cocok buat kita apa?"
Lili menyerngit. Dalam hati berkata, "Gue mau panggil sayang boleh, gak? Terserah lo aja deh."
"Gue ngikut lo aja." Kata Vincent membuat Lili semakin bingung panggilan apa yang paling cocok untuk mereka.
Sambil tersenyum Vincent masih menunggu jawaban Lili, menatapnya intens.
"Kayak biasa aja, deh. Lo, gue, udah paling pas buat kita."
"Yakin? Gak nyesal? Yaudah kalau gitu gue bakalan panggil lo 'sayang' boleh?" Vincent menggigit bibir bawahnya menahan malu.
Lili juga tak kalah malu mendengar kalimat Vincent, "Boleh." Dengan suara tersendat.
"Oke sayang. Sekarang kita nikmati hari ini dan aku mau kamu fokus ke aku."
Lili mendelik dengan penuh tanya, makhluk apa yang sudah merasuki Vincent hari ini. Dan kenapa bayangan Lili tentangnya terjadi hari ini.
"Kamu, eh, elo, sayang, ya, pokoknya itu, deh, udah janji bakalan cerita semuanya ke gue."
Vincent terkekeh, gemas melihat tingkah Lili yang salah tingkah, "Gak usah gerogi, aku cuma minta kamu buat merubah nama panggilan kita. Gitu aja gak bisa."
"Gak biasa Vincent."
"Ya biasakan dong. Hari ini aja kok. Aku mau dengar kamu manggil sayang ke aku." Vincent berusaha membujuk Lili untuk mengucapkan kata singkat itu.
"I-iya sayang." Lili menunduk menyembunyikan rasa malunya.
"Gue mau meluk lo tapi gak bisa. Nanti aja deh." Senyuman Vincent semakin lebar. "Uhm.. Aku mau minta maaf karena udah membentak kamu. Maaf ya. Aku gak bermaksud gitu."
"Udah.. Aku juga udah lupa. Sebenarnya aku cukup tersakiti dengan bentakan kamu. Tapi aku berusaha buat memahami situasi yang kamu alami. Pasti terpukul dengan kejadian yang menimpa kamu. Harusnya aku paham dengan keadaan kamu. Tapi aku malah buat suasana hati kamu memburuk."
Vincent tertawa, "Lucu banget dengar kamu ngomong formal."
Lili menunduk malu, "Makanya jangan paksa gue buat ngomong formal gini. Geli gue."
Vincent masih tertawa, kali ini lebih kencang, "Maaf deh. Biar suasananya gak kaku."
"Udah ah! Malas gue ngomong sama lo." Lili ngambek berhenti mendayung, "Lagian kenapa kita gak sama\pai-sampai, sih."
"Danaunya memang gak berujung kali. Gue cuma mau ngajakin lo nikmatin pemandanan disini. Lo gak suka?"
"Suka kok. Suka banget malah."
"Selama beberapa minggu ini gue mencoba menenangkan diri sekaligus berusaha buat hubungi lo. Tapi gue masih dihantui rasa bersalah. Lo juga gak mau hubungi gue. Gue pikir lo marah banget ke gue makanya gue takut. Mungkin sikap gue waktu itu kasar banget ke elo sampai lo berhenti buat hubungi gue." Ujar Vincent kemudian melanjutkan kalimatnya dengan sedikit menunduk. Ada rasa khawatir ketika akan mengucapkannya, "Selama ini gue menyadari pertemanan kita. Gue merasa ada yang salah dalam hati gue. Dan itu membuat gue tersiksa setiap kali mengingat elo. Kayaknya gue harus bilang kalau gue suka sama lo. Gue gak berharap lo bakalan balas perasaan gue. Gue Cuma pengin bilang biar gak nyesal di kemudian hari."
Vincent menghembuskan napas panjang menatap Lili yang masih berdiam diri, "Gue pikir selama ini cuma gue sendiri yang tersiksa. Ternyata kita sama-sama menyiksa diri dengan memendamnya dalam hati. Gue takut pertemanan kita bakalan rusak dengan perasaan yang mulai menghantui ini. Gue takut setengah mati kalau perasaan ini terus dibiarkan. Taunya gue gak bertepuk sebelah tangan. Gue juga suka sama lo. Udah lama banget." Lili berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
Mereka meletakkan dayungnya dengan aman kemudian mendekat dan berpelukan dengan haru. Lili menangis dan Vincent berusaha menenangkannya meski perasaannya juga ikut merasakan haru.
Setelah beberapa menit dengan senggugukan Vincent melepaskan pelukannya dan menepis air mata yang tersisa di wajah Lili, "Maaf udah buat lo nangis."
"Kenapa sekarang panggil lo, gue, katanya harus panggil sayang."
"Maafin gue. Gue gak berharap lo balas perasaan ini."
"Gue senang lo bilang ini ke gue."
Vincent menunduk, "Maafin gue karena hari ini gue bakalan pindah keluar kota. Kita gak bakalan ketemu untuk sementara waktu. Maafin gue."
Tangis haru yang mulai redam kini semakin kencang, Lili kembali menangis menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya.
"Maafin gue Li. Gue gak bermaksud buat lo sedih."
Lili tidak menjawab perkataan Vincent Cuma bisa diam menatap danau yang tenang. Vincent membawa sampan itu menepi. Lili dan Vincent turun dari sampan dibantu oleh bapak pemilik sampan.
"Ini sama aja kayak lo udah bawa gue terbang tinggi terus dengan sengaja jatuhkan gue. Tega banget lo sama gue. Gue malu sama lo. Harusnya gue nolak lo aja tadi, bukan malah membalas cinta lo."
"Maaf Li. Gue gak bisa berbuat apa-apa dan kita bakalan ketemu lagi kok. Cuma gue harus pindah sekolah."
"Kenapa mendadak? Baru aja lo nembak gue terus sekarang mau pergi." Lili menghapus air matanya menunggu penjelasan Vincent.
"Gue juga gak bisa apa-apa. Karena semuanya udah diurus bokap gue. Maaf. Gue cuma gak mau nyesal ke depannya. Makanya gue bilang apa yang gue rasakan selama ini."
"Kita pulang aja sekarang." Lili masuk ke dalam mobil.
Situasi semakin tegang. Vincent tidak membuka suara sama sekali. Begitu juga Lili Cuma bisa menatap jalanan dari kaca mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.